Labels

Selasa, 09 Juni 2015

Out of the Box

Ihsan
 
Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, karya Ibnu Arabi, ada kisah menarik untuk dijadikan pembelajaran seksama. Sengaja saya menyampaikan ini, untuk mengasah kembali potensi diri dan menggugah kesadaran diri yang sering digaungkan oleh para motivator agar setiap diri untuk bisa berfikir out of the box. Secara umum bisa saya simpulkan, bahwa sebagai orang yang relijius - beragama, sebenarnya kita sudah terbiasa berfikir out of the box. Karena kita sudah tidak berfikir masalah dunia melulu yang menjadi box kita, tetapi menyiapkan diri untuk perjalanan setelah dunia. Masalahnya seberapa besar dan seberapa benar daya out of the boxnya itu, sehingga mampu membuat diri kita mengenali diri sendiri dan meretas jalan menuju Ilahi Robbi. Salah satunya belajar ihsan dan menjadi ihsan, sebagaimana dituturkan dengan cukup runut dan rapi oleh Ibnu Arabi. Semoga kita mampu meneladaninya.
 
Sebelum melangkah lebih jauh, dengan penuh kesadaran dan kerendah-hatian saya mohon maaf, jika ternyata tulisan ini malah membuat kemunduran atau kerancuan pemahaman karena berbagai sebab. Tak ada maksud, kecuali baik dan mukhlish lillah. Mungkin ada yang mempertanyakan sumbernya, menyangsikan kebenarannya atau hal buruk lain di luar budi dan kemampuan saya, silahkan meng-ignore tulisan ini dan maafkanlah atas kelancangan ini. Tak ada yang lebih saya takutkan kecuali hanya bertemunya kebaikan dengan kesalahpahaman.  Semua bermaksud baik hanya berselisih sudut pandang dan cara menyampaikan.
 
Terkisah, seorang murid menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. “Wahai Guru, semalam aku mengkhatamkan Alquran dalam shalat malamku.
 
Sang Guru tersenyum. “Bagus Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Alquran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.”

Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Guru,”  katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Alquran itu.”
 
Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang Guru sembari menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para shahabat Nabi yang telah mendengar Alquran itu langsung dari Rasulullah. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”

Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “
Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Alquran yang dapat aku lafalkan.

Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala sang murid. “Nanti malam bacalah Alquran dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah SAW sendiri. Orang yang kepadanya Alquran diturunkan.''

Seusai shalat Shubuh, sang guru bertanya, “
Bagaimana shalatmu semalam?
Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si murid sambil mendesah, “Itu pun dengan susah payah.”

Masya Allah,” kata sang Guru sambil memeluk sang murid dengan bangga. “Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah  yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Alquran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”

Keesokan harinya, ternyata sang murid itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguknya. “
Ada apa denganmu?” tanya Sang Guru.
 
Sang murid berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, cuma al-Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah” tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.”

Nak...,” kata sang Guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.

Bagi yang rindu kenikmatan ibadah, rindu manisnya iman, haus segarnya islam serta butuh indahnya beramal, inilah jalan sempurna bernama ihsan.  Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar, dijelaskan dengan paripurna pengertian ihsan tertinggi ini. Rasululloh Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menafsirkannya, ihsan yaitu "Bahwa engkau (beribadah) menyembah Alloh Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Seperti kisah di atas, bila seseorang berhasil menghimpun hati dan perasaannya, ketika sedang melakukan peribadatan dan merasakan bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala  melihatnya, maka akan tercapailah tingkatan yang paling tinggi dalam agama ini.
 
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata: “ Anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “Anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya, maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. Aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (rowahu Muslim)
 
Sejujurnya ihsan ini tidak hanya kepada Allah saja. Bahkan dalam Hari Kurban  pun kita diingatkan kembali tentang ihsan. Simak hadits berikut ini.
 
Dari Syaddad bin Aws, dia berkata, "Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasululloh Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya Alloh Ta'ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.'" (HR: Muslim)
 
Maka, sejatinya kita dituntun untuk bisa ihsan dalam segala hal. Tidak hanya kepada Allah, tetapi dari Yang Maha Tertinggi sampai kepada semua makhluk, yang terendah sekalipun di bumi ini. Dan itulah mengapa ihsan menjadi penting sebagai hal yang harus dimiliki bagi mereka yang berpredikat islam dan iman.
 
Dan mari cermati, bagaimana ihsan bertempat pada diri ini. Sudahkah?  

@ oleh
Faizunal Abdillah--dari sebuah milis

Senin, 02 Desember 2013

Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Hairuni*



Fatimah sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa telah diangkat
khalifah baru, Umar bin Abdul Azis yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau Sang Raja baru dikabarkan menolak
segala fasilitas istana.



Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari,
membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan
besar-besaran dan penuh kemewahan.


Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia
sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yang sangat identik dengan kemewahan
hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal
tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?


Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari
kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya
terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yang lalu tatkala ia
berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya
gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.


Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh
kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! Bukankah
engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan
kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat
Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu
akan terabaikan.



Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani
hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal
menjemputku.”


Rabu, 13 Februari 2013

Budi Luhur

Kenapa kita tidak berbudi luhur
Begitu segar menerima siraman dalil  bulan ini. Hati – hati yang menciut berbalut rindu, serasa longgar berpendar terobati. Berkelana riuh menentang jaman. Kecemburuan yang dalam menggebu menyambutnya. Berparas cantik dengan selarik postulat keistimewaan budi pekerti. Siapa tak menginginkannya?
Dia adalah kesempuranaan iman. Dengannya sempurnalah iman seseorang. Dia adalah kemuliaan seseorang. Dengannya mulialah orang itu. Mendapatkan derajat dan pangkat baik di sisi manusia maupun Tuhannya. Dengannya pula adalah sebuah jalan mendapatkan cinta dari Allah dan makhluk lainnya. Juga sumber mendapatkan kebaikan yang banyak. Bahkan mengalahkan derajatnya orang yang berpuasa dan rajin sholat malam. Betapa indahnya. Tak heran banyak diri ingin sekali memilikinya.
Namun tak mudah. Di tengah keterbatasan dan keterhalangan, sebentuk api harapan haruslah terus dijaga. Jangan sampai punah sebelum waktunya. Setiap diri diberkahi kebaikan dan keburukan, sejak ia dilahirkan. Dan dari sanalah bermula sebuah perjuangan perubahan. Menjadi insan yang paripurna dengan berbudi yang luhur. Akhlaqul karimah. Mengembangkan sikap baik sehingga keburukan tersudut dalam ruang sempit tindakan. Sebab hakikinya pemberian (baca: sifat jelek) itu tidak bisa hilang sama sekali.
Rasulullah SAW bersabda; Apabila seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya akan ditulis untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap keburukan yang dilakukannya akan ditulis untuknya seumpamanya.” (Rowahu al-Bukhary)
Marilah terus berlomba, mendapatkan predikat berbudi mulia. Atau kita hanya pernah mengenalnya saja. Tanpa bisa melakukan dan mengamalkannya. Apakah itu mungkin? Ya, sebagaimana terbitnya siang dan malam.
Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang berbuat baik di dalam islam, niscaya dia tidak terkena sanksi karena perbuatannya di jaman jahiliyah, dan barang siapa yang berbuat jelek di dalam islam, maka dia terkena sanksi dari dosa yang awal dan akhir.” (Rowahu al-Bukhary)
Dan serasa lengkap sudah, tuntunan dan tuntutan. Tinggal diri ini mau apa tidak? Ingin menjadi baik apa tidak? Berbudi pekerti luhur apa tidak? Semua butuh perjuangan. Menghiasi iman dan amal shalih.
 
Salah satu yang perlu dihindari dalam memagari usaha menjadi pribadi yang ihsan, dengan budi pekerti yang luhur adalah jangan pernah mengundat – undat. Maksudnya mengungkit perbuatan baik yang telah kita lakukan. Atau menganggap diri telah baik dengan perbuatan yang telah kita kerjakan. Biarlah orang lain yang menilai. Kita tetap berusaha di atas hukum Allah dan RasulNya saja. Biarkanlah penilaian itu datang dengan sendirinya, laksana air yang mengalir, yang pada akhirnya bermuara ke samudera. Tidak seperti cerita lobak dan perempuan tua.
 
Seorang perempuan tua meninggal dunia dan dibawa ke hadapanNya oleh para malaikat. Namun ketika diperiksa catatan hidupnya, tidak ditemukan  kebaikan  satu  pun  yang dilakukannya  kecuali sebuah lobak, yang pernah diberikannya kepada pengemis kelaparan.
 
Tetapi demikian besar kekuatan satu kebaikan itu,  hingga diputuskan, bahwa ia diangkat ke surga dengan kekuatan lobak itu. Lobak itu dibawa  ke  sidang  dan  diberikan kepadanya.  Pada  saat  ia  menyentuhnya  lobak  mulai  naik seperti ditarik oleh  penggerak  tak  kelihatan,  mengangkat perempuan itu ke surga.
 
Datanglah seorang pengemis. Ia memegang pinggiran pakaiannya dan diangkat bersamanya. Orang ketiga berpegang  pada  kaki pengemis  itu  dan  ikut diangkat juga. Tidak lama sudah ada
deretan panjang orang-orang terangkat ke surga oleh lobak itu. Dan mungkin aneh nampaknya, perempuan itu tidak merasa beratnya  orang  itu  semua,  yang  berpegangan  pada   dia; nyatanya,  karena  ia  memandang  ke surga, ia tidak melihat mereka.
 
Mereka  meningkat  semakin  tinggi  sampai   mereka   hampir mendekati pintu gerbang surga. Pada waktu itu perempuan tadi melihat ke bawah, untuk terakhir kali melintaskan  pandangannya ke dunia dan melihat deretan orang di belakangnya. Ia  menjadi  marah. Ia memerintahkan dengan lambaian tangan dan  berteriak.  "Pergi,  pergi  kamu semua.   Lobak ini kepunyaanku."
 
Karena  melambaikan tangan itulah, ia melepaskan lobak sesaat saja - dan ia jatuh ke bawah membawa seluruh rombongan.
 
Pada dasarnya setiap orang bisa berbuat kebajikan, walau pasti ada juga kekurangannya dan sifat jelek yang terus mengikutinya. Berangkat dari kondisi seperti inilah kita harus bisa membuktikan bahwa kita bisa memupuk bibit kebajikan yang ada dalam diri dan mengurung bibit kejelekan. Akhirnya kita tahu: “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”
 
SAPMB AJKH
 
Salam,

Cinta Rosul

Dalil ini mengulik lagi kesadaran saya: sudahkah saya melakukannya? Itu pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban segera.  Apalagi sudah dikepung 4 orang anak yang lucu di sekitar saya.
 
Diriwayatkan dari Abu An-Nashr dan Dailami, “Ajarilah anak-anak kalian atas tiga perkara, (1) cinta Nabi kalian, (2) cinta kepada keluarganya Nabi, dan (3) membaca alquran, maka sesungguhnya pembawa Alquran itu di dalam naungannya Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya beserta para Nabi dan keluarga Nabi.”
 
Seolah belum reda dengan kegalauan ini,  Imam al-Bukhary meriwayatkan dalil serupa yang menguatkan apa yang Abu An-Nashr riwayatkan.  Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sehinggalah aku (Nabi SAW) menjadi orang yang paling dia cintai melebihi hartanya, keluarganya, dan seluruh manusia yang lainnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab al-Iman, 1/24, no. 14). Menggununglah jadinya.
 
Menurut hadist di atas sebagai orang tua saya merasa “kenekan”, sebab belum mengajarkan secara paripurna masalah cinta kepada Nabi dan keluarganya ini.  Baik langsung maupun tidak langsung. Atau merujuk dalil kedua, bagaimana mau mengajarkan cinta itu kalau diri sendiri belum bisa mencintai Nabi melebihi harta, keluarga dan seluruh manusia. Nah, disitulah pokok masalah sebenarnya. Dan bagaimana bentuk cinta itu, kadang masih absurd buat kebanyakan orang. Oleh karena itu, saya merasa perlu menggali informasi lagi bagaimana cara mencintai Nabi dan keluarganya, untuk kemudian bisa mengajarkannya. Tentunya dimulai dari diri ini sendiri.
 
Salah satu dalil yang sering beredar menjembatani pemahaman ini adalah begini,” Man ahya sunnatii faqod ahabbanii, waman ahabbani kaana ma’ii fil jannah - Barangsiapa yang menghidup-hidupkan sunnahku, sungguh dia cinta kepadaku. Dan barangsiapa yang mencintai aku maka dia akan bersamaku di surga.Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, juga Suyuthi dalam Jami'ush Shaghir, dan dikeluarkan pula oleh Muhammad Abdullah al Khathib al Tabrazi dalam Misykatul Mashabih. Tirmidzi berkata: Hadits hasan gharib.
 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingatkan,“Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam urusan agama), setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (Hadis riwayat Muslim, 4/359, no. 1435)
 
“Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali Imran, 3: 31)
 

Senin, 21 Januari 2013

Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa


Syaikh Sulaiman; Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa

syaikh Sulaiman menjadi khatib Jumat di Masjid Jabal Nur, PAC LDII Wonosalam Jombang (18/01/13)
Dunia memang sedang bermasalah dengan moralitas. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi dibangga-banggakan, sementara ilmu agama ditinggalkan, umat manusia mengalami kemerosotan moral sekaligus peradaban. Agar selamat dunia dan akhirat, umat Islam harus meningkatkan ketaqwaannya kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala.
Ketaqwaan merupakan ro’sul hikmah (puncak hikmah), dengan taqwa seseorang akan beruntung di dunia dan akhirat. Masalah ketaqwaan inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam khutbah Jumat yang disampaikan oleh Syeikh Sulaiman Fifi seorang dosen Ma’had Haram yang berkunjung ke Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kediri.
“Taqwa adalah al khouf minalloh, mengamalkan perintah Alloh, ridho terhadap qodar Alloh dan mempersiapkan diri untuk menghadap kepada Alloh”, kata Syeikh Sulaiman dalam khutbahnya yang disampaikan di masjid Jabal Nur PAC LDII Kumbokarno Wonosalam Jombang (18/01/13).
Kemudian dalam uraiannya, Syeikh Sulaiman menyebutkan bahwa yang dimaksud al Khouf minalloh adalah at tauhid, kemudian praktek amalan yang paling tinggi setelah tauhid adalah mengerjakan solat lima waktu, selanjutnya adalah zakat, puasa romadlon serta haji ke baitulloh bagi yang sudah mampu.
Nerimo terhadap rizqi dari Alloh atau qona’ah adalah termasuk bagian dari ridho terhadap qodar dari Alloh. Sedangkan yang terakhir dari perincian taqwa sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Sulaiman adalah mempersiapkan diri untuk menghadap kepada Alloh di hari qiyamat dengan cara bagaimana seseorang bisa menghiasi diri dalam hidupnya ini dengan amal-amal yang baik sehingga bisa husnul khotimah dan tidak melumuri diri dengan amal-amal yang jelek selama hidupnya sehingga menjadi hidup yang suu’ul khotimah na’uudzu billaahi min dzaalik. (gB)
sumber: http://www.walibarokah.org

Mufti Mekkah Akui Perjuangan Agama KH. Nurhasan (alm)

Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) saat ini semakin berkembang pesat. Terbukti dengan merambahnya gerakan dakwah ini sampai ke manca negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, Amerika, Eropa bahkan sampai ke Saudi Arabia terutama Mekkah. Di Indonesia sendiri LDII sudah ada di 33 provinsi, 302 Kabupaten dan Kota, 1637 PC (setingkat kecamatan) dan 4500 PAC (setingkat desa/kelurahan) seluruh Indonesia. Dari segi jumlah jamaah juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut catatan Departemen Agama pada tahun 1989 jumlah jamaah LDII mencapai 30 juta orang.
Hal ini tidak luput dari pengamatan Syeikh Dr. Abdullah Nasri Yahya Al Asiri, seorang mufti dari Makkah Saudi Arabia serta dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah. Perkembangan yang sangat pesat ini tidak terlepas dari perjuangan tokoh-tokoh yang ada didalamnya, tak terkecuali KH. Nurhasan Al Ubaidah (Alm). “Perkembangan LDII yang demikian pesat ini adalah buah dari perjuangan Syeikh Nurhasan Al Ubaidah yang ‘alim robbaaniy (seseorang yang berilmu dan ahli mendidik)”, kata Syeikh Abdullah di Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kediri.
Pada Kamis malam, 17/01/13 pukul 22.00 wib beliau Syeikh Dr. Abdullah Nasri kembali mengunjungi Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kota Kediri. Dalam kunjungan yang untuk ke sekian kalinya ini beliau ditemani oleh Syeikh Sulaiman Fifi yang juga seorang dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah.
Selain berlibur, kedua Syeikh tersebut juga akan mengadakan dauroh ilmiyah yaitu pengkajian kitab Umdatul Ahkam dan kitab Al Irsyad selama satu minggu yang diikuti oleh sekitar 200 ustadz-ustadz LDII alumni Pondok Pesantren Walibarokah dari seluruh Indonesia. (gB)
sumber: http://www.walibarokah.org

Rabu, 14 November 2012

Pengajian Tuna Rungu

Di Jetis Wonokromo Surabaya ada sebuah masjid LDII setempat memiliki pengajian khusus, yaitu pengajian yang diperuntukkan bagi tuna rungu pengajian yang tentu menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa penghubungnya, para tuna rungu terlihat sangat antusias dalam mengikuti pengajian tersebut itu terlihat dari wajah mereka yang sangat menikmati acara dan ini mungkin tidak dijumpai di tempat lain yang mana batas-batas perbedaan sosial dapat dipisahkan, mungkin suatu saat Baitul Makmur menjadi inspirasi di tempat-tempat lain walau meskipun pesertanya adalah sebuah sekolah SLB dan semoga saja pengajian ini menjadikan inspirasi juga bagi para tuna rungu bahwa mendalami agama pun bisa dengan keterbatasan yang mereka miliki karena ilmu adalah hak semua orang dan tiada batas peruntukannya dan bila mungkin ada sanak saudara yang ingin belajar mengenai islam dan terkendala karena mengalami tuna rungu, Baitul Makmur siap membantu bisa langsung datang ke lokasi pengajian atau menghubungi takmir masjid Baitul Makmur no telp : 0318288353


http://metrotvnews.com/wideshot/videos/6001/pengajian-tuna-rungu,-sentuhan-sederhana-untuk-mereka