Jeda
Suatu malam, di tahun 80-an, Jaya Suprana tampil bersama seorang pemain biola dan seorang messosopranist untuk menyajikan beberapa gubahan dalam konsernya. Salah satu ciptaannya berjudul Meditasi
yang dalam brosur dikomentari: menyajikan unsur paling hakiki dalam
musik yang justru sering dilupakan. Ketiga orang itu muncul. Jaya
mengetuk lantai dengan ujung sepatu, tu-wa-ga . . . Senyap saja.
Penonton menanti. Lho, kok tak ada jreng? Penjelasannya? Pause atau jeda
adalah unsur paling hakiki dalam musik. Tanpa unsur jeda, pasti bakal
tak keruan bunyi musiknya. Dan ciptaan Meditasi itu melulu mengandung unsur jeda itu. Diam selama satu menit.
Awal
tahun 90-an, Jaya Suprana mencoba mengulang kembali pelajaran tentang
arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space
di awal konser pianonya yang digelar di Semarang. Waktu itu, ketika
hall pertunjukan telah hening dan semua audience telah siap menerima
alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan
satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi
hening seketika untuk beberapa lama, penonton pun pada bertanya-tanya. Selanjutnya,
kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan
dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts
piano. Kenapa
Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di
awal pertunjukan?
Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Tanpa arti, tanpa makna. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.
Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Tanpa arti, tanpa makna. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.
Untuk sesaat saya merasa biasa saja mendengar dan membaca cerita ini. Apalagi saya bukan pemusik. Tetapi, kemudian saya terhenyak menyadari ada yang menarik dari cerita ini. Dalam dinamika perjalanan naik – turun pemahaman saya, tiba – tiba terdampar akan arti pentingya jeda ini dalam keseharian. Orang
memang sering lupa bahwa jeda merupakan unsur yang tak boleh tidak.
Apalagi jika terkait dengan masalah shalat. Simaklah hadits di bawah
ini.
Abu Hurairah ra. berkata,” Ketika Nabi SAW berada di dalam Masjid, seseorang lelaki masuk dan melaksanakan shalat, selesai shalat ia mendatangi Rasulullah SAW seraya memberi salam, beliau pun menjawab salam tersebut dan bersabda,”Ulangi shalatmu, engkau belum melaksanakan shalat.”
Kalimat tersebut beliau ucapkan tiga kali, lalu pria itu berkata,”Demi
yang telah mengutus engkau, inilah shalat yang bisa saya lakukan, maka
ajarilah saya.” Beliau bersabda,“Jika engkau hendak shalat,
sempurnakanlah wudhu, menghadap kiblat dengan membaca takbir, bacalah
beberapa ayat Qur’an, kemudian ruku’
hingga terasa tenang,
bangkitlah dari ruku’ hingga tegak lurus lalu sujud hingga merasa
tenang, bangkitlah dari ruku’ hingga tegak lurus lalu sujud hingga lalu
duduklah engkau hingga merasa tenang dan lakukanlah semua hal itu di
setiap shalatmu”. (HR Bukhari “Bab Azan” 6251, Muslim “Bab Shalat” 397)
Atau dalam atsar lain, diceritakan dari Shohih Bukhary dan Muslim juga, Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW masuk masjid dan seorang
laki-laki juga masuk masjid melaksanakan shalat, kemudian menghampiri
Nabi SAW dan mengucapkan salam kepadanya, Nabi SAW pun menjawabnya
kemudian berkata kepada orang itu: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu. Karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat!”. Orang
itu pun mengulangi shalatnya seperti tadi. Setelah selesai shalat
kemudian mendatangi Nabi SAW dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi SAW
pun berkata lagi kepadanya: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu.
Karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat!”. Hal ini terjadi sampai tiga kali. Kemudian orang laki-laki itu berkata: “Demi
Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak dapat
melaksanakan shalat lebih baik dari ini, karena itu ajarilah aku”. Nabi SAW pun mengajarkannya: “Apabila
engkau berdiri hendak shalat maka ucapkan takbir (Allahu Akbar),
kemudian bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga
engkau terasa tenang dalam keadaan rukuk, kemudian angkatlah kepalamu
hingga engkau tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau terasa
tenang dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah kepalamu dari sujud
hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud. Lakukanlah seperti itu
dalam semua shalatmu.”
Dari beberapa ustadz yang mengajarkan ilmu hadits tersebut kepada saya, setidaknya ada tiga hal, kenapa lelaki itu kudu
mengulangi shalatnya. Pertama, tidak takbiratul ihram, ketika memulai
shalat. Hal ini diperkuat dengan hadist-hadits lain semisal tentang
wajibnya takbir yang pertama ini. Kedua, dikarenakan melakukan ritual
lain sebelum takbiratul ihram. Untuk yang satu ini, saya kurang begitu
yakin. Alasannya kurang banyak hadits pendukungnya. Saya lebih melihat
sisi offensive yang lebih ditonjolkan, ketika memaknai dengan hal
seperti ini. Ketiga, karena tidak thuma’ninah (khusyu’) dalam
shalatnya. Hal ini sangat jelas dari matan haditsnya dan
hadits pendukung lain yang banyak jumlahnya. Nah, terkait dengan yang
ketiga inilah, saya mengapresiasi thuma’ninah ini dengan jeda, serupa
yang dipertontonkan Jaya Suprana. Banyak di antara kita yang tidak
melakukan jeda di dalam shalatnya. Laksana music, apa jadinya shalat
kita tanpa jeda.
“Nabi SAW melarang
(tindakan dalam shalat) mematuk seperti burung gagak, mencakar seperti
binatang buas dan seseorang yang menjadikan tempat khusus untuk dirinya
di masjid seperti unta”. (Rowahu Ahmad, Abu Daud dan yang lain).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Nabi SAW bersabda: ”Tidak sah shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud.” (Rowahu Abu Dawud dan Tirmidzi). Dalam riwayat lain: ”Hingga dia menegak - luruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”
Bagaimana praktek jeda dalam sholat ini? Utamanya untuk
menambah dan menyempurnakan kekhusyu’an dan thuma’ninah? Gampang.
Lakukan shalat seperti biasa yang anda lakukan. Sekarang cobalah,
setelah selesai bacaan setiap gerakan, sisipilah jeda sebelum ke urutan
gerakan atau bacaan berikutnya. Ketika memulai shalat, mengangkat takbir
dan membaca Allahu Akbar, tunggulah sampai sikap kita sempurna. Tidak
bergerak dan umyek – sibuk ke sana – kemari, lalu bacalah
iftitah. Selesai iftitah, ambillah jeda lagi. Caranya dengan ambil nafas
baru kemudian membaca fatihatul kitab. Selesai membaca amin, jedalah
sejenak, sebelum membaca ayat atau surat dari al-quran. Begitu
seterusnya.
Ketika ruku’ membaca takbir dan membungkuk. Jangan buru-buru
membaca doa ruku’, tapi sempurnakan dulu posisi ruku sehingga tenang
dengan posisi ruku. Semua sendi tulang telah kembali ke asalnya – jeda –
dan baru kemudian membaca doa ruku’. Selesai doa jangan terus I’tidal,
jedalah sebentar sebelum I’tidal. Insya Allah akan paripurna thuma’ninah
kita. Bukan bacaan yang menjadi ukuran, melainkan kethuma’ninahan kita
dalam setiap gerakan. Walau kata sudah habis semua doa kita baca. Akhirnya, bisa terhindar dari ancaman pencuri shalat atau nash lain seperti di bawah ini.
Rasulullah SAW bersabda: ”Manusia yang paling buruk perbuatan mencurinya adalah orang yang mencuri sholatnya” Seseorang bertanya: ”Bagaimanakah seseorang itu mencuri sholatnya?” Rasulullah menjawab;“Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”(HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, & Al-Baihaqi)
“Sungguh seorang pria itu pulang (dari shalatnya), tapi
tidak dicatat untuknya kecuali sepersepuluh, sepersembilan,
seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempatnya, sepertiga
atau separohnya.” (Abu Daud dan Nasai).
Atau seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Ashbani,“Sesungguhnya
seseorang yang telah shalat selama enam puluh tahun, tetapi satu pun
shalatnya tidak ada yang diterima. Boleh jadi ia menyempurnakan rukuk,
tetapi tidak menyempurnakan sujud. Atau ia menyempurnakan sujud, tetapi
tidak menyempurnakan rukuk.”
Untuk itu, Umar bin Khaththab pernah berpidato: “Sungguh seorang pria itu telah tua bangka dalam memeluk Islam, tapi dia belum menyempurknakan shalatnya untuk Allah”. Ada yang bertanya: Bagaimana hal itu terjadi? Beliau menjawab: “Karena dalam shalatnya ia tidak menyempurnakan kekhusyu’an, tidak merendahkan dirinya dan tidak menghadapkan diri kepada Allah.”
Mari sempurnakan shalat. Ambilah jeda mulai sekarang.
sapmb jkh
PF