Labels

Selasa, 21 Februari 2012

Jeda
 
Suatu malam, di tahun 80-an, Jaya Suprana tampil bersama seorang pemain biola dan seorang messosopranist untuk menyajikan beberapa gubahan dalam konsernya. Salah satu ciptaannya berjudul Meditasi yang dalam brosur dikomentari: menyajikan unsur paling hakiki dalam musik yang justru sering dilupakan. Ketiga orang itu muncul. Jaya mengetuk lantai dengan ujung sepatu, tu-wa-ga . . . Senyap saja. Penonton menanti. Lho, kok tak ada jreng? Penjelasannya? Pause atau jeda adalah unsur paling hakiki dalam musik. Tanpa unsur jeda, pasti bakal tak keruan bunyi musiknya. Dan ciptaan Meditasi itu melulu mengandung unsur jeda itu. Diam selama satu menit.
 
Awal tahun 90-an, Jaya Suprana mencoba mengulang kembali pelajaran tentang arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space di awal konser pianonya yang digelar di Semarang. Waktu itu, ketika hall pertunjukan telah hening dan semua audience telah siap menerima alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi hening seketika untuk beberapa lama, penonton pun pada bertanya-tanya. Selanjutnya, kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts piano. Kenapa Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di awal pertunjukan?

Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Tanpa arti, tanpa makna. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.
 
Untuk sesaat saya merasa biasa saja mendengar dan membaca cerita ini.  Apalagi saya bukan pemusik. Tetapi, kemudian saya terhenyak menyadari ada yang menarik dari cerita  ini.  Dalam dinamika perjalanan naik – turun pemahaman saya, tiba – tiba terdampar akan arti pentingya jeda ini dalam keseharian.  Orang memang sering lupa bahwa jeda merupakan unsur yang tak boleh tidak. Apalagi jika terkait dengan masalah shalat. Simaklah hadits di bawah ini.
 
Abu Hurairah ra. berkata,” Ketika Nabi SAW berada di dalam Masjid, seseorang lelaki masuk dan melaksanakan shalat, selesai shalat ia mendatangi Rasulullah SAW seraya memberi salam, beliau pun menjawab salam tersebut dan bersabda,”Ulangi shalatmu, engkau belum melaksanakan shalat.” Kalimat tersebut beliau ucapkan tiga kali, lalu pria itu berkata,”Demi yang telah mengutus engkau,  inilah shalat yang bisa saya lakukan, maka ajarilah saya.” Beliau bersabda,“Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, menghadap kiblat dengan membaca takbir, bacalah beberapa ayat Qur’an, kemudian ruku hingga terasa tenang, bangkitlah dari ruku’ hingga tegak lurus lalu sujud hingga merasa tenang, bangkitlah dari ruku’ hingga tegak lurus lalu sujud hingga lalu duduklah engkau hingga merasa tenang dan lakukanlah semua hal itu di setiap shalatmu”. (HR Bukhari “Bab Azan” 6251, Muslim “Bab Shalat” 397)
 
Atau dalam atsar lain, diceritakan dari Shohih Bukhary dan Muslim juga,  Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW masuk masjid dan seorang laki-laki juga masuk masjid melaksanakan shalat, kemudian menghampiri Nabi SAW dan mengucapkan salam kepadanya, Nabi SAW pun menjawabnya kemudian berkata kepada orang itu: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu. Karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat!”. Orang itu pun mengulangi shalatnya seperti tadi. Setelah selesai shalat kemudian mendatangi Nabi SAW dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi SAW pun berkata lagi kepadanya: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu. Karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat!”. Hal ini terjadi sampai tiga kali. Kemudian orang laki-laki itu berkata: “Demi Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak dapat melaksanakan shalat lebih baik dari ini, karena itu ajarilah aku”. Nabi SAW pun mengajarkannya: “Apabila engkau berdiri hendak shalat maka ucapkan takbir (Allahu Akbar), kemudian bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan rukuk, kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah kepalamu dari sujud hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud. Lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu.”
 
Dari beberapa ustadz yang mengajarkan ilmu hadits tersebut kepada saya, setidaknya ada tiga hal, kenapa lelaki itu kudu mengulangi shalatnya. Pertama, tidak takbiratul ihram, ketika memulai shalat. Hal ini diperkuat dengan hadist-hadits lain semisal tentang wajibnya takbir yang pertama ini. Kedua, dikarenakan melakukan ritual lain sebelum takbiratul ihram. Untuk yang satu ini, saya kurang begitu yakin. Alasannya kurang banyak hadits pendukungnya. Saya lebih melihat sisi offensive yang lebih ditonjolkan, ketika memaknai dengan hal seperti ini. Ketiga, karena tidak thuma’ninah (khusyu’) dalam shalatnya. Hal ini sangat jelas dari matan haditsnya dan hadits pendukung lain yang banyak jumlahnya. Nah, terkait dengan yang ketiga inilah, saya mengapresiasi thuma’ninah ini dengan jeda, serupa yang dipertontonkan Jaya Suprana. Banyak di antara kita yang tidak melakukan jeda di dalam shalatnya. Laksana music, apa jadinya shalat kita tanpa jeda.
 
“Nabi SAW melarang (tindakan dalam shalat) mematuk seperti burung gagak, mencakar seperti binatang buas dan seseorang yang menjadikan tempat khusus untuk dirinya di masjid seperti unta”. (Rowahu Ahmad, Abu Daud dan yang lain).
 
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Nabi SAW bersabda: ”Tidak sah shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud.” (Rowahu Abu Dawud dan Tirmidzi). Dalam riwayat lain: ”Hingga dia menegak - luruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”
 
 
Bagaimana praktek jeda dalam sholat ini? Utamanya untuk menambah dan menyempurnakan kekhusyu’an dan thuma’ninah? Gampang. Lakukan shalat seperti biasa yang anda lakukan. Sekarang cobalah, setelah selesai bacaan setiap gerakan, sisipilah jeda sebelum ke urutan gerakan atau bacaan berikutnya. Ketika memulai shalat, mengangkat takbir dan membaca Allahu Akbar, tunggulah sampai sikap kita sempurna. Tidak bergerak dan umyek – sibuk ke sana – kemari, lalu bacalah iftitah. Selesai iftitah, ambillah jeda lagi. Caranya dengan ambil nafas baru kemudian membaca fatihatul kitab. Selesai membaca amin, jedalah sejenak, sebelum membaca ayat atau surat dari al-quran. Begitu seterusnya.
Ketika ruku’ membaca takbir dan membungkuk. Jangan buru-buru membaca doa ruku’, tapi sempurnakan dulu posisi ruku sehingga tenang dengan posisi ruku. Semua sendi tulang telah kembali ke asalnya – jeda – dan baru kemudian membaca doa ruku’. Selesai doa jangan terus I’tidal, jedalah sebentar sebelum I’tidal. Insya Allah akan paripurna thuma’ninah kita. Bukan bacaan yang menjadi ukuran, melainkan kethuma’ninahan kita dalam setiap gerakan. Walau kata sudah habis semua doa kita baca.  Akhirnya, bisa terhindar dari ancaman pencuri shalat atau nash lain seperti di bawah ini.
Rasulullah SAW bersabda: ”Manusia yang paling buruk perbuatan mencurinya adalah orang yang mencuri sholatnya” Seseorang bertanya: ”Bagaimanakah seseorang itu mencuri sholatnya?” Rasulullah menjawab;“Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”(HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, & Al-Baihaqi)
Sungguh seorang pria itu pulang (dari shalatnya), tapi tidak dicatat untuknya kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempatnya, sepertiga atau separohnya.” (Abu Daud dan Nasai).
Atau seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Ashbani,“Sesungguhnya seseorang yang telah shalat selama enam puluh tahun, tetapi satu pun shalatnya tidak ada yang diterima. Boleh jadi ia menyempurnakan rukuk, tetapi tidak menyempurnakan sujud. Atau ia menyempurnakan sujud, tetapi tidak menyempurnakan rukuk.”
Untuk itu, Umar bin Khaththab pernah berpidato: “Sungguh seorang pria itu telah tua bangka dalam memeluk Islam, tapi dia belum menyempurknakan shalatnya untuk Allah”. Ada yang bertanya: Bagaimana hal itu terjadi? Beliau menjawab: “Karena dalam shalatnya ia tidak menyempurnakan kekhusyu’an, tidak merendahkan dirinya dan tidak menghadapkan diri kepada Allah.”
Mari sempurnakan shalat.  Ambilah jeda mulai sekarang.
 
sapmb jkh
 
PF

Selasa, 14 Februari 2012

You are my place to back

Ampunan اَللّهُ Sangat Luas

oleh: GG


Firman Alloh Ta’ala,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ


الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rohmat Alloh. Sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53)


Alloh Ta’ala juga berfirman,


أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ


“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Alloh menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Alloh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?” (QS. At Taubah: 104)


Begitu pula Alloh Ta’ala berfirman,


وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ


“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan.” (QS. Asy Syura: 25).

Dan masih banyak ayat-ayat lain semisal ini yang menunjukkan bahwa taubat akan melebur dosa. Jika dosa yang ada had nya dengan bani adam tentu di mintakan halalnya (maafnya) dulu dan jika ada kafaroh maka tunaikan itu.

Jika tidak maka kelak di akhirot akan ada qishosh yang mana penebusan dosa kita dengan menggunakan pahala amal sholih kita. Maka dari itu mari jaga diri dari golongan orang yang muflis. Beramal banyak namun diakhirot habis bahkan kurang untuk bayar dosa2 kita pada dulur lain yang akhirnya dilemparkan ke neraka. Na'udzubillahi min dzalik.


Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ : أَيْ رَبِّ أَذْنَبْت ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي فَقَالَ : عَلِمَ عَبْدِي


أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ قَدْ غَفَرْت لِعَبْدِي ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ


أَذْنَبْت ذَنْبًا آخَرَ . فَاغْفِرْهُ لِي فَقَالَ رَبُّهُ : عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ


وَيَأْخُذُ بِهِ قَدْ غَفَرْت لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ مَا شَاءَ قَالَ ذَلِكَ : فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ


“Jika seorang hamba berbuat dosa, lalu ia berkata: Wahai Robbku, aku betul-betul telah berbuat dosa, ampunilah aku. Robbnya menjawab, “Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia memiliki Robb yang Maha Mengampuni dosa dan menhukumi setiap dosa. Aku telah mengampuni hamba-Ku.” Kemudian ia berbuat dosa lainnya, lantas ia pun mengatakan pada Robbnya, “Wahai Robbku, aku betul-betul telah berbuat dosa lainnya, ampunilah aku.” Robbnya menjawab, “Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia memiliki Robb yang Maha Mengampuni dosa dan menhukumi setiap dosa. Aku telah mengampuni hamba-Ku. Lakukanlah sesukamu (maksudnya: selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Alloh akan mengampunimu).” Kemudian ia pun melakukan dosa lain yang ketiga atau keempat. HR. Muslim no. 2758.


Dalam shohih Muslim yang lain, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمِ يُذْنِبُونَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُونَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ


“Seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Alloh akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Alloh akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Alloh (beristighfar) dan Alloh pun pasti akan mengampuni mereka.” HR. Muslim no. 2749.


Istighfar (mohon ampunan pada Alloh) disertai dengan taubat merupakan pelebur dosa. Dalilnya dapat dilihat pada hadits,


مَا أَصَرَّ مَنْ اسْتَغْفَرَ وَإِنْ عَادَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ


“Bukanlah orang yang terus berbuat dosa orang yang meminta ampunan (beristighfar) walaupun ia kembali melakukan dosa dalam sehari sebanyak seratus kali.” HR. Abu Daud no. 1514, At Tirmidzi no. 3559, Ath Thobroni tentang do’a, hadits no. 1797, derajat hadits hasan.


باب ما جاء في الصلاة عند التوبة

Bab apa2 yang datang di dalam sholat ketika taubat

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ الثَّقَفِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ الْأَسَدِيِّ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي وَإِذَا حَدَّثَنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْته فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ قَالَ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ

أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ

... .. . dari abu bakar رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, sesungguhnya beliau berkata


سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَقُولُ

Mendengar aku رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم bersabda


مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ


Tidak ada seseorang hamba yang melakukan dosa maka dia membagusi wudhu kemudian sholat 2 rokaat kemudian memohon ampun pada اَللّهُ kecuali mengampuni اَللّهُ bagi nya Kemudian beliau ( رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) membaca ini ayat


إِلَى آخِرِ الْآيَةِ


Hingga akhir ayat.


سورة آل عمران ٭ ٣ ~ ١٣٥