Labels

Selasa, 27 Maret 2012

Selaras


Pernah mendengar kisah yang satu ini? Ya, cerita Nashrudin Khoja selalu menarik dan mengundang tawa. Walau begitu, penuh pelajaran di sana – sini bagi penikmatnya. Karenanya saya suka dibuatnya. Dan kali ini ijinkan saya mengutipkannya untuk Anda semua.

 
Suatu hari ia mengeluh pada istrinya: ''Dulu, waktu baru nikah, setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.''
 
Mendengar kegusaran suaminya, istrinya tak kalah tangkas menangkis: ''Jangan mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap mendapatkan pelayanan yang sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang menggonggong.'' Gubrak..!!!

Menyelaraskan keinginan memang tak mudah.
Allah berfirman, (Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa : 19). Ada unsur waktu, kesabaran, pengertian dan ada rasa ewuh – pakewuh/sungkan. Tapi, begitu watak asli terkuak --seiring dengan rasa bosan yang muncul-- kecerewetan, ketidaksabaran, dan ketidakbersahajaannya pun mencuat. Begitulah manusia. Cenderung menyukai mengenakan topeng, khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokok. Beruntung bagi yang melandasi setiap amalannya dengan niat yang benar. Lillahi ta’ala orang bilang. Ikhlas. Seiring sabda Rasulullah SAW; “Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Termasuk dalam berumah tangga, mendasarinya berdasarkan agama. Bukan lainnya.

Mungkin, topeng itu pula yang membuat kita sering terkecoh. Kita suka melihat yang tampak, bukan bagian yang ''dalam''. Yang tidak tampak. Kita cenderung mencuatkan ego. Akibatnya, seperti dikisahkah Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, pengajar di beberapa perguruan tinggi, ada perkawinan yang hanya berumur tujuh hari. Ceritanya, sepasang kekasih telah melakukan pendekatan selama tiga tahun. Si wanita 33 tahun, dan prianya 37 tahun. Cukup matang untuk berumah tangga. Apalagi keduanya sarjana. ''Ternyata, rumah tangga mereka cerai gara-gara soal lampu,'' kata Amin. Si wanita, yang selama 33 tahun selalu tidur dalam keadaan terang, menghendaki kamarnya diterangi. Sebaliknya, suaminya bersikukuh harus gelap. Maklum, 37 tahun dia selalu tidur dalam gelap. Kompromi tak bisa dicapai. Mereka pun cerai. ''Padahal, memasang lampu lima watt yang remang-remang kan bisa,'' ujar Amin.

Begitulah jika manusia menekankan keinginan sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Hatinya kopong. Kesetiaan, penghormatan, perhatian, kepedulian, keadilan, kejujuran, semua ditentukan melalui kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan sulit menyatakan terima kasih, apalagi berbagi kasih. Masalah rumah tangga memang tak pernah habis dikupas, baik di media cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. ''Dari soal pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istri,'' ujar seorang penasehat spiritual di Jakarta.

Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus karier istri yang menanjak, kehidupan perkawinannya malah mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunyai keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor. ''Apa yang harus aku lakukan,'' ungkap pria ini. Penasehat spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib salat tahajud. ''Coba lebih mendekat pada Tuhan, insya Allah masalahnya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah,'' ia menyarankan.

Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. ''Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran?'' katanya. Istrinya tak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya.

Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depannya tak disentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima ''pengakuan dosa'' itu.
Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam, istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal --pertanda baru saja dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, antara lain, yang melahirkan kebohongan demi kebohongan.

Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau, bahkan, lebih pahit dari itu. Hati pria ini seakan menuntut: ''Kalau saja aku tak menuruti nasihatmu, tentu masalahnya tak sepahit ini.''

Si penasehat yang dituding ''ikut menjebloskan dalam duka'' meng-kick balik: ''Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?''
Buat orang awam, restoran dan rumah sekadar tempat. Tidak lebih. Tapi, di mata si penasehat, tempat membawa ''takdir'' tersendiri. Sesuai arahan Kanjeng Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan sesuatunya tetap di rumah.
 
Dari Amir bin al-Ahwash al-Jusyami ra., bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu haji wada’ setelah memuji dan menyanjung Allah, mengingatkan dan menasehati, “Ketahuilah, saling menasihatilah kalian kepada para wanita dalam kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan – tawanan (tanggungan) di sisi kalian, kalian sama sekali tidak memiliki apapun dari mereka selain itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka jika mereka melakukan itu, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Lalu jika mereka taat kepada kalian, maka jangan kalian mencari – cari jalan untuk menyusahkan mereka. Ketahuilah bahwa kalian memiliki hak atas istri kalian, dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah agar mereka tidak menginjakkan siapapun yang kalian tidak suka ke tempat tidur kalian, dan tidak memberikan ijin masuk ke rumah kalian siapapun orang yang tidak kalian suka. Dan ketahuilah hak mereka atas kalian adalah kalian bersikap dan berlaku baik terhadap mereka di dalam memberikan sandang dan pangan.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shohih)
 
Dari Muawiyah bin Haidah, ia menuturkan, saya pernah berkata, ‘Ya Rasulullah apa hak istri terhadap suaminya?’ Beliau SAW menjawab, “Engkau memberinya makan ketika engkau makan, engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, jangan kamu memukul wajahnya, jangan pula menjelek – jelekannya, dan jangan kamu mendiamkannya (hajr) kecuali tetap di rumah.” (Rowahu Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Dan, itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan sejarah tersendiri. Maka, jalan terbaik menyikapinya adalah, seperti dikatakan orang bijak, ''Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.''

Kayu telah menjadi arang. Kita tak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi, bisa jadi, merupakan bagian dari perilaku kita jua.
''Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus menyelesaikannya,'' kata orang bijak.

Pahit-getir, manis-asam, asin-hambar, itu sebuah risiko. Memang, kiat hidup itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan!
 
SAPMB JKH
 
salam,
 
pf

Rabu, 14 Maret 2012

Sederhana

I was thinking!
Berfikir sederhana ternyata tidak mudah. Banyak orang bilang simplicity - simplicity, atau bermaksud menyederhanakannya, namun pada prakteknya malah kelewat sederhana. Bukan penyelesaian dan kemudahan yang didapat, justru sebuah ganjaran baru sebagai akibatnya. Kesulitan. Ketika terselenggara demonstrasi pesawat tempur F-16 yang mutakhir  itu, melihat bara menyala di ekor pesawat, ada yang nyeletuk, "Wah, kalau ditaruh singkong atau jagung di situ pasti bisa langsung matang, ya?" Maklum, belum sempat mengenal high tech dengan baik. Emang gampang apa bakar jagung di ekor pesawat? Belum lagi temperaturnya yang tinggi. Bisa jadi jagungnya langsung; wusss,,, habis terbakar. Sebatas omong kosong bolehlah. Itu bukan kategori berpikir sederhana, namanya.
 
Seorang teman bercerita lain lagi, suatu ketika di tahun 60-an, dia berkesempatan naik ke kapal perang KRI Irian yang pada masa itu sangat dibanggakan. Begitu kagum ia akan besarnya kapal perang itu, lalu bertanya kepada seorang pelaut di situ, "Pak, ini kapal kalau dibikin wajan bisa jadi berapa, ya?" Jawabnya? Teman itu jadi tujuh keliling karena kena tempeleng. Salah tempat, pikiran sederhana bisa membuat cilaka.
 
Di pagelaran seleksi Indonesian Idol 2012, yang ditayangkan RCTI setiap jumat malam, juga ada contoh menarik. Seorang peserta dari Medan, pelayan kedai kopi yang sederhana, mendapat masalah karena jawabannya yang kelewat sederhana. Kedua jurinya marah – marah begitu mendengar jawabannya. Pada mulanya si kontestan menyanyikan sebuah lagu, terus oleh juri ke – 3;  yaitu  A. Dhani – distop, “Stop! Cukup, kamu ke Jakarta.” Sontak, si kontestan kegirangan, dia pikir dia melenggang begitu saja. Lantas 2 juri lainnya, Anang dan Nina Tamam, menyergap; “Tunggu dulu! Itu baru dari 1 juri, masih ada 2 juri yang lain.” Kontan kontestan terdiam. Lenyaplah harapan, pikirnya.
“Menurutmu, kamu pantas lolos tidak ke Jakarta?” tanya Anang.
“Nggak tahu.... Kan Mas dan Mbak jurinya?” jawab si kontestan. Ternyata jawaban ini membuat marah sang juri.
“Kamu jangan sombong ya! Jangan berlagak. Menjadi idol tidak boleh begitu,,, bla, bla,,,”. Si kontestan cengar – cengir. Panjang, walau pada akhirnya meluluskannya juga.
 
Saya dan istri, celingukan menahan tawa melihat adegan di atas. Keluguan dan kesederhanaan kadang malah disalah-artikan oleh pihak lain. Namun sebenarnya, ada daya tarik tersendiri dengan kontestan yang satu ini. Karena wajahnya mirip sekali dengan keponakan kami yang lagi belajar di Malang sana. Maka, kami begitu serius, jangan – jangan masih halak hita. Eh, ternyata bukan.
 
Lain lagi dengan anak lelaki saya. Suatu saat dia duduk di meja makan. Mungkin karena terburu – buru, tanpa sengaja dia menjatuhkan kursi kayu di meja tersebut, ketika akan meninggalkan meja makan. Akibatnya kursi itu patah salah satu kakinya. Memang kayunya getas. Jadi mudah patah. Berhubung takut dimarahi, kalau ketahuan, maka dengan ide sederhananya, dia memasang kembali kaki kursi yang patah itu. Bukan dengan paku atau lem kayu, melainkan dengan isolasi bening. Idenya bagus. Dan kaki kursi itu nempel lagi. Tapi, apalah arti isolasi, yang justru malah akan mencelakakan orang lain. Memang kaki kursi terpasang seperti sedia kala, tapi menjadi bahaya kalau diduduki oleh orang lain. Bisa terjatuh karenanya. Kesederhanaan berfikir kadang setara dengan tingkat usia dan latar belakang seseorang. Perlu dilatih dan dilatih terus, melihat dimana dan kapan sebaiknya mengutarakannya.
 
Pada akhirnya saya jadi berpikir, betapa seringnya kita jadi sial karena terlalu sederhana atau naif berpikir. Kesederhanaan berpikir memang, sering kali diperlukan, untuk maksud-maksud tertentu. Banyak pula pikiran besar yang baru bisa dibuat operasional setelah ia terlebih dahulu disederhanakan. Mau contoh?
 
Lihatlah 5 Bab. Istilah ini meluncur dari seorang ulama yang faqih. Mampu menyederhanakan masalah yang besar sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Dari atas sampai bawah. Dari yang ngaku pinter, sampai yang mengaku bodoh. Yang modern maupun kolot. Sekian banyak hukum dan syariat, dirangkum dengan 5 Bab. Maka tak ayal lagi banyak yang tidak terima karenanya. Bukan karena salah, bukan? Bukan karena bid’ah, bukan? Sebenarnya karena ini; kenapa bukan mereka yang menelorkannya? Kalah langkah, metode dan hasil dipermasalahkan. Iri tanda tak mampu.
 
Berfikir sederhana, sebenarnya sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya singkat. Tak berbelit. Tapi dalam dan penuh makna - mencukupi. Rasulullah SAW bersabda; Permudahlah (segala urusan), jangan dipersulit dan ajaklah dengan baik, jangan menyebabkan orang lari menjauh. (HR. Al-Bukhari) Dan berfikir sederhana, bertingkah sedernana, termasuk di dalamnya. Sadar atau tidak. Mau atawa menolak.
 
Satu di antara anekdot favorit saya masalah simplicity ini adalah kisah potlot. Semua orang tahu apa itu potlot. Alat tulis yang dikenal sejak dulu. Jaman kakek – nenek. Alias pencil. Konon, ketika NASA memulai program ruang angkasanya, mereka menemukan bahwa bolpoin tak bisa digunakan dalam situasi gravitasi nol. Setelah 10 tahun riset, menghabiskan uang banyak, ilmuwan NASA menemukan bolpoin yang bisa digunakan untuk menulis di lingkungan gravitasi nol, dalam keadaan terbalik. Baik di dalam air, di setiap permukaan, maupun di gelas. Pena ajaib ini bisa dipakai di temperatur beku hingga 300 derajat celsius. Ironisnya, Rusia, ketika mengalami masalah yang sama, tak menempuh jalan jelimet seperti Amerika. Dan tak mengeluarkan banyak budget. Mereka cukup memakai potlot. Urusan beres.
 
Keep It Simple Stupid (KISS) adalah slogan untuk menghargai indahnya berpikir sederhana. Boleh jadi ‘berpikir sederhana’ menjadi lebih sulit dibandingkan ‘berpikir rumit’. Berpikir sederhana memerlukan ‘keberanian’, pemahaman terhadap masalah yang lebih baik, dan kreatifitas tinggi. Kebanyakan orang dilatih di sekolah untuk menjadi semakin canggih, dan berpikir dengan cara yang semakin rumit. Jadi, sadarkah kita?
 
Sekarang mulailah sebelum terhambat. Dan jika kesulitan memulainya, tengoklah barisan kata berikut. "Berpikirlah sederhana. Masalah di dunia ini tak lebih dari masalah sederhana yang ditunda - tunda penyelesaiannya." Setuju?
 
SAPMB JKH
 
pf