Labels

Kamis, 30 Agustus 2012

Ibu

Gmbr.diagnis.blogspot.com
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah ? Sudah pasti jawabannya adalah : ke-ha-mi-lan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, Seberat apa pun langkah yang mesti diayun, Seberapa lama pun waktu yang harus dijalani, Tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan: po-si-tif.
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedihkah atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika itu mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
 
 
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak. Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
 
"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuk dirinya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.
 
Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli susu anak; 2. Uang sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya.
Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
 
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia pun terus mendongeng.
 
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa saja membeli makan siangnya sendiri di kampus.
 
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. Ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"
 
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih & shalihat sejak kecil," ujarnya.
 
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya, Ibulah sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran, yaitu "cinta". Sekolah yang hanya punya satu guru yaitu "pecinta". Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: "anakku tercinta".Terima kasih buat ibu dan ayahku yang telah membesarkan aku dari kecil sampai sekarang.
 
Oleh: m4n5ur@yahoo.com

Kamis, 02 Agustus 2012

Ramadhan

Menghitung salam

By Mbah Google
 
 
Awal ramadhan terlihat guyup itu biasa. Masjid – masjid jadi rame itu wajar. Surau – surau jadi gemerlap itu selayaknya. Mushalla – mushalla berhias benderang menantang. Ramadhan memang membawa perbedaan.
 
Shaf – shaf penuh itu perlu. Barisan – barisan tegak-lurus itu baku. Dan bacaan- bacaan imam yang nyaring – merdu, mengusir debu - debu dosa dan datangnya pahala berlipat - lipat. Ramadhan datang membawa pesan kedamain. Rahmat seluruh alam.
Hingga anak – anak pun riang menyambutnya. Mereka berkicau. Meramaikan suasana. Berteriak, berlari. Hilir mudik kesana – kemari. Ada juga yang berbaris rapi, tapi menyendiri dengan alam pikirannya. Maka ia pun tak peduli ketika selesai salam berbincang dengan rekan di sebelahnya.
 
“Kurang berapa lagi?”
“Lima,” kata teman sebelahnya yang lebih tua.
 
Kemudian imam berangkat, melaju rekaat demi rekaat. Tanpa peduli dengan dialog mereka. Demikian juga dengan yang lain. Namun, setiap kali mendapat 2 rekaat dan terdengar salam, pertanyaan serupa terulang dari mulut – mulut kecil itu. Seolah tak sabar. Dan hitungan mundur tentunya mewarnai jawaban itu. Mengharap kapan selesai untuk segera bermain atau menikmati acara selanjutnya. Maklum namanya juga anak – anak.
 
“Berapa lagi?”
 
“Empat.”
 
Entah angin dari mana, ide dari siapa, tiba – tiba jiwa dan pikiran saya tertarik dengan perbincangan anak-anak itu.  Aku cuma melirik dan mesem –mesem memperhatikannya. Namun seperti hembusan angin semilir kipas di masjid itu, tiba – tiba muncul kesadaran luar biasa dalam diri saya. Sebuah pencerahan. Maka, pikiran pun berlari menjemput dalil man qoma ramadhan imanan wahtisaban.
 
Dari Abu Huroiroh RA, dia berkata: bersabda Rosulullah SAW: “ Barangsiapa melakukan Qiyamu Romadhon dengan iman dan mencari pahala, maka diampuni dosanya yang telah lewat.” (Shohih Muttafaqun Alaih)
 
Saya mencoba mengungkapkan dengan kata – kata, tapi rasanya sulit sekali. Begitu padang cahaya pencerahan itu. Jembar sekali memenuhi hati. Luas, seakan menampung jamaah se masjid malam itu. Dalil itu begitu sempurna untuk merontokkan sikap arogan. Begitu indah untuk dijalankan. Diimani, diyakini dan dilaksanakan. Dan sikap anak – anak di atas tadi sebagai pemicunya. Bukankah kita yang dewasa juga melakukan hal yang sama? Menghitung rekaat demi rekaat setiap waktu? Malu? Ya, saya juga melakukan hal serupa. Bedanya, orang dewasa tidak mengungkapkannya. Hanya dilakukan di dalam hati. Jadi, dimana letak imanan wahtisaban sebagaimana tersebut dalam dalil di atas tadi?
 
Sudah lebih dari 35 kali saya menjumpai Ramadhan. Jatuh bangun berpuasa dan taraweh selayaknya. Namun baru kali ini merasakan hal yang beda. Yang mengusik jati keimanan. Mempertanyakan pucuk kesungguhan. Dimana secara jujur saya akui masih didominasi dengan menghitung rekaat dan salam ketika taraweh berjalan. Persis seperti anak – anak tadi.
 
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadiid 16)
 
Bukankah seharusnya shalat tarawih itu penuh kekhusyuan? Bukankah bercakap dan berbincang dengan Allah adalah hal yang menyenangkan? Bukankah keihsanan itu penuh keindahan? Apalagi jika harapannya adalah diampuna dosa – dosa yang telah lewat. Apakah yang saya lakukan seperti itu cukup? Subhanallah…
 
Saya pun mematung. Mengukur diri. Walau besar harapan untuk mencapai ampunan itu dengan imanan wahtisaban. Tetapi rasanya masih jauh. Khusyu belum, ihsan kurang, hati grambyang iya, pun suka menghitung – hitung salam. Diujung sana telah menunggu titah Tuhan bagi orang iman macam saya; Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Faathir:32)
 
Mudah-mudahan tidak termasuk di dalam golongan dholimu linafsih. Dan rasanya sekarang waktunya untuk berbenah. Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane. Merajut kekhusyu’an. Merenda keindahan. Menjalin kedamaian. Memantapkan ihsan. Membuang menghitung – hitung salam. Menuju fastabiqul khairat. Imanan wahtisaban.