Labels

Rabu, 14 November 2012

Pengajian Tuna Rungu

Di Jetis Wonokromo Surabaya ada sebuah masjid LDII setempat memiliki pengajian khusus, yaitu pengajian yang diperuntukkan bagi tuna rungu pengajian yang tentu menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa penghubungnya, para tuna rungu terlihat sangat antusias dalam mengikuti pengajian tersebut itu terlihat dari wajah mereka yang sangat menikmati acara dan ini mungkin tidak dijumpai di tempat lain yang mana batas-batas perbedaan sosial dapat dipisahkan, mungkin suatu saat Baitul Makmur menjadi inspirasi di tempat-tempat lain walau meskipun pesertanya adalah sebuah sekolah SLB dan semoga saja pengajian ini menjadikan inspirasi juga bagi para tuna rungu bahwa mendalami agama pun bisa dengan keterbatasan yang mereka miliki karena ilmu adalah hak semua orang dan tiada batas peruntukannya dan bila mungkin ada sanak saudara yang ingin belajar mengenai islam dan terkendala karena mengalami tuna rungu, Baitul Makmur siap membantu bisa langsung datang ke lokasi pengajian atau menghubungi takmir masjid Baitul Makmur no telp : 0318288353


http://metrotvnews.com/wideshot/videos/6001/pengajian-tuna-rungu,-sentuhan-sederhana-untuk-mereka

Rabu, 07 November 2012

Andap - asor

Andap - asor
 
Perasaan saya, dari kecil tak pernah punya rasa sombong. Bagaimana mau sombong, wong dari kecil jadi bulan – bulanan terus oleh teman sebaya. Ampun. Nyerah deh. Yang penting nyari selamat. Gede sedikit, mendapat tekanan dari yang lebih tua. Di sekolah maupun di luar sekolah sama. Walhasil perasaan sombong itu tak sempat tumbuh. Layu sebelum berkembang. Yang ada hanya bagaimana mencari tempat yang nyaman.
 
Setelah badan tumbuh gede, kala masuk SMP misalnya, nalar sudah jalan. Dan tanggapan lingkungan pun mulai berubah. Tak ada lagi penindasan. Mereka tampak baik dan manis. Penuh kerja sama tanpa ejekan dan hinaan. Mau balas dendam, tak kesampaian. Niat – niat jelek pupus. Urung jadinya. Dan perasaan sombong itu pun tak punya kamar berkembang di masanya. Namun keinginan terus menjelajah muncul luar biasa. Mungkin itulah yang disebut darah muda.
 
Semasa SMA mulai menebar ancaman. Dengan fisik yang kuat, nalar yang cermat pengin melakukan hal – hal gila dan luar biasa. Tidak untuk nyombong, Cuma cari perhatian saja. Baik ke khalayak maupaun lawan jenis. Beruntunglah, hal itu tidak berlanjut. Selain orang tua saya memberikan arahana yang tepat, di waktu yang tepat, saya mulai belajar mengaji. Di situlah akhirnya saya ketemu definisi sombong dengan dimensi yang berbeda, namun lengkap sudah. Roddun haq waghomtun nas – menolak barang hak dan meremehkan manusia.
 
Menolak barang hak itu terkait hati masing – masing dengan petunjuk atau perintah Allah sebagai Sang Pencipta. Menerima atau menolak. Bisa menjalankan apa tidak. Namun untuk meremehkan manusia terlalu luas spektrumnya. Beruntung beberapa hal telah membantu saya untuk tidak sombong dengan meremehkan sesame manusia. Wajah misalnya, juga tidak tampan – tampan amat, sehingga tidak bisa nyombong karena kegantengannya. Jauhlah sama Nabi Yusuf AS. Sama Dede Yusuf saja kalah. Kalau mau nyombng dengan kepintaran juga gak. Sebab IPK-nya pas – pasan. Yang penting bisa lulus. Jauh dari prestasi Sangat Memuaskan atau Cumlaude. Yang ada di ranah kemelut. Harta, Allah paring  juga seadanya saja. Kecukupan. Rumah misalnya, mewah gak, jelek juga gak – itu kata anak saya.  Jabatan juga gak tinggi – tinggi amat. Biasa saja. Karena giliran, jadilah sekarang Ketua RT. Itu saja. Jadi ukuran tahta, harta dan wanita, tidak ada yang bisa digunakan untuk nyombong.
 
Walau begitu dalam perjalanannya, tetap saja 3 ta itu bisa muncul ke muka dan menjelma menjadi kesombongan yang menggila. Dalam situasi kalut, galau atau genting, semua digunakan sebagai sumber daya. Tanpa berhitung ini masuk wilayah hukum atau hanya kemashlahatan saja. Beruntunglah dalam keadaan seperti itu, saya diajarkan satu hal lagi dalam islam ini yaitu tentang ketawadhu’an. Andap asor. Rendah hati. Namun, sebab dengan latar yang sering dimarjinalkan, kadang susah membedakan ini tawadhu atau tertindas belaka.
 
Dalam pergumulan selanjutnya, diajarkanlah dalil – dalil dan cerita agar bisa menumbuhkan rasa tawadhu yang benar. Bukan sebagai ketertindasan tetapi sebagai akhlaquk karimah. Kemulyaan. Dalam Sirah Umar bin al-Khaththab karya Ahmad at-Taji  ada kisah keteladanan masalah ini. Alkisah, Jablah bin Aiham, raja dari Kerajaan Gassanah melakukan perjalanan ke Madinah. Menurut para sejarawan, ia datang bersama rombongan ke kota suci kedua bagi umat Islam itu untuk masuk Islam. Begitu sampai di Madinah, rombongan itu diterima dengan penuh suka cita oleh Khalifah Umar bin Khathab.

Saat musim haji tiba, Jablah menunaikan haji bersama Umar. Saat ber-tawaf, sarung raja Gassanah itu terinjak hingga terlepas. Jablah pun murka dan memukul lelaki yang menginjak sarungnya hingga berdarah. Pria yang berasal dari suku Fuzarah itu mengadu kepada Umar.

"Mengapa kamu memukul lelaki ini?" tanya Umar. "Dia telah menginjak sarungku hingga terlepas," jawab Jablah. Umar berkata, "Bukankah kamu telah menyatakan masuk Islam? Sebagai balasannya, kamu harus berusaha membuatnya rela atau dia melakukan tindakan seperti tindakan yang telah kamu lakukan terhadapnya."

Dengan penuh kesombongan, Jablah berkata, "Apakah hal ini pantas aku lakukan! Aku adalah raja, sedangkan dia adalah rakyat jelata." Umar dengan tegas berseru, "Islam memandang sama antara dirimu (raja) dan dirinya (rakyat jelata). Tidak ada hal yang membuatmu memiliki derajat lebih tinggi daripada dia, selain amal kebaikan."
"Demi Allah, aku masuk Islam dan berharap dapat menjadi lebih mulia daripada masa jahiliah."
Umar berkata, "Kamu akan seperti itu." Jablah berkata, "Tangguhkanlah aku sampai besok agar aku dapat berpikir tentang hal ini, wahai Amirul Mukminin." Umar berkata, "Silakan."

Namun pada malam hari, Jablah dan rombongannya malah melarikan diri hingga sampai di Konstantinopel dan bertemu dengan Heraklius. Ia tak mau bersikap tawadhu dan memilih keluar dari ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat.

Thus, saya jadi berfikir lebih dalam lagi, benarkah saya sudah memiliki ini dengan sebenar – benarnya? Akh, harus terus dicari dan mencari.
Tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya, karena menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT, sehingga tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan. Tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal hanya karena Allah. Terutama menjaga salah arti dari kebaikan yang telah kita beri. Susah bro!
 
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Bertawadhulah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.” (HR. Muslim).
 
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
 
Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka shalat. Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut perangainya, dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya, murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya, sangat penyayang pada semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang sakit, menghadiri penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki, mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan ketika kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang ‘A’rabiy menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah, saya ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan daging kering. (HR Ibnu Majah-3312 dari Abu Mas’ud al-Badariiy)
 
Semoga kita terhindar dari kesombongan dan memiliki sikap tawadhu yang mendalam.
 
Oleh Faizunal Abdillah