Oleh: Hairuni*
Fatimah sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa telah diangkat
khalifah baru, Umar bin Abdul Azis yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau Sang Raja baru dikabarkan menolak
segala fasilitas istana.
Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari,
membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan
besar-besaran dan penuh kemewahan.
Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia
sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yang sangat identik dengan kemewahan
hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal
tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?
Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari
kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya
terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yang lalu tatkala ia
berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya
gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.
Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh
kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! Bukankah
engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan
kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat
Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu
akan terabaikan.
Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani
hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal
menjemputku.”
Senin, 02 Desember 2013
Rabu, 13 Februari 2013
Budi Luhur
Kenapa kita tidak berbudi luhur
Begitu segar menerima siraman dalil bulan
ini. Hati – hati yang menciut berbalut rindu, serasa longgar berpendar
terobati. Berkelana riuh menentang jaman. Kecemburuan yang dalam
menggebu menyambutnya. Berparas cantik dengan selarik postulat
keistimewaan budi pekerti. Siapa tak menginginkannya?
Dia
adalah kesempuranaan iman. Dengannya sempurnalah iman seseorang. Dia
adalah kemuliaan seseorang. Dengannya mulialah orang itu. Mendapatkan
derajat dan pangkat baik di sisi manusia maupun Tuhannya. Dengannya pula
adalah sebuah jalan mendapatkan cinta dari Allah dan makhluk lainnya.
Juga sumber mendapatkan kebaikan yang banyak. Bahkan mengalahkan
derajatnya orang yang berpuasa dan rajin sholat malam. Betapa indahnya.
Tak heran banyak diri ingin sekali memilikinya.
Namun
tak mudah. Di tengah keterbatasan dan keterhalangan, sebentuk api
harapan haruslah terus dijaga. Jangan sampai punah sebelum waktunya.
Setiap diri diberkahi kebaikan dan keburukan, sejak ia dilahirkan. Dan
dari sanalah bermula sebuah perjuangan perubahan. Menjadi insan yang
paripurna dengan berbudi yang luhur. Akhlaqul karimah. Mengembangkan
sikap baik sehingga keburukan tersudut dalam ruang sempit tindakan.
Sebab hakikinya pemberian (baca: sifat jelek) itu tidak bisa hilang sama
sekali.
Rasulullah SAW bersabda; “Apabila seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya,
maka setiap kebaikan yang dilakukannya akan ditulis untuknya sepuluh
kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap keburukan yang
dilakukannya akan ditulis untuknya seumpamanya.” (Rowahu al-Bukhary)
Marilah
terus berlomba, mendapatkan predikat berbudi mulia. Atau kita hanya
pernah mengenalnya saja. Tanpa bisa melakukan dan mengamalkannya. Apakah
itu mungkin? Ya, sebagaimana terbitnya siang dan malam.
Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa
yang berbuat baik di dalam islam, niscaya dia tidak terkena sanksi
karena perbuatannya di jaman jahiliyah, dan barang siapa yang berbuat
jelek di dalam islam, maka dia terkena sanksi dari dosa yang awal dan
akhir.” (Rowahu al-Bukhary)
Dan
serasa lengkap sudah, tuntunan dan tuntutan. Tinggal diri ini mau apa
tidak? Ingin menjadi baik apa tidak? Berbudi pekerti luhur apa tidak?
Semua butuh perjuangan. Menghiasi iman dan amal shalih.
Salah
satu yang perlu dihindari dalam memagari usaha menjadi pribadi yang
ihsan, dengan budi pekerti yang luhur adalah jangan pernah mengundat –
undat. Maksudnya mengungkit perbuatan baik yang telah kita lakukan. Atau
menganggap diri telah baik dengan perbuatan yang telah kita kerjakan.
Biarlah orang lain yang menilai. Kita tetap berusaha di atas hukum Allah
dan RasulNya saja. Biarkanlah penilaian itu datang dengan sendirinya,
laksana air yang mengalir, yang pada akhirnya bermuara ke samudera.
Tidak seperti cerita lobak dan perempuan tua.
Seorang
perempuan tua meninggal dunia dan dibawa ke hadapanNya oleh para
malaikat. Namun ketika diperiksa catatan hidupnya, tidak ditemukan kebaikan satu pun yang dilakukannya kecuali sebuah lobak, yang pernah diberikannya kepada pengemis kelaparan.
Tetapi demikian besar kekuatan satu kebaikan itu, hingga diputuskan, bahwa ia diangkat ke surga dengan kekuatan lobak itu. Lobak itu dibawa ke sidang dan diberikan kepadanya. Pada saat ia menyentuhnya lobak mulai naik seperti ditarik oleh penggerak tak kelihatan, mengangkat perempuan itu ke surga.
Datanglah seorang pengemis. Ia memegang pinggiran pakaiannya dan diangkat bersamanya. Orang ketiga berpegang pada kaki pengemis itu dan ikut diangkat juga. Tidak lama sudah ada
deretan panjang orang-orang terangkat ke surga oleh lobak itu. Dan mungkin aneh nampaknya, perempuan itu tidak merasa beratnya orang itu semua, yang berpegangan pada dia; nyatanya, karena ia memandang ke surga, ia tidak melihat mereka.
Mereka meningkat semakin tinggi sampai mereka hampir mendekati pintu gerbang surga. Pada waktu itu perempuan tadi melihat ke bawah, untuk terakhir kali melintaskan pandangannya ke dunia dan melihat deretan orang di belakangnya. Ia menjadi marah. Ia memerintahkan dengan lambaian tangan dan berteriak. "Pergi, pergi kamu semua. Lobak ini kepunyaanku."
Karena melambaikan tangan itulah, ia melepaskan lobak sesaat saja - dan ia jatuh ke bawah membawa seluruh rombongan.
Pada
dasarnya setiap orang bisa berbuat kebajikan, walau pasti ada juga
kekurangannya dan sifat jelek yang terus mengikutinya. Berangkat dari
kondisi seperti inilah kita harus bisa membuktikan bahwa kita bisa
memupuk bibit kebajikan yang ada dalam diri dan mengurung bibit
kejelekan. Akhirnya kita tahu: “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”
SAPMB AJKH
Salam,
Cinta Rosul
Dalil
ini mengulik lagi kesadaran saya: sudahkah saya melakukannya? Itu
pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban segera. Apalagi sudah dikepung 4 orang anak yang lucu di sekitar saya.
Diriwayatkan dari Abu An-Nashr dan Dailami, “Ajarilah
anak-anak kalian atas tiga perkara, (1) cinta Nabi kalian, (2) cinta
kepada keluarganya Nabi, dan (3) membaca alquran, maka sesungguhnya
pembawa Alquran itu di dalam naungannya Allah pada hari tidak ada
naungan kecuali naungan-Nya beserta para Nabi dan keluarga Nabi.”
Seolah belum reda dengan kegalauan ini, Imam al-Bukhary meriwayatkan dalil serupa yang menguatkan apa yang Abu An-Nashr riwayatkan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
sempurna iman salah seorang kalian sehinggalah aku (Nabi SAW) menjadi
orang yang paling dia cintai melebihi hartanya, keluarganya, dan seluruh
manusia yang lainnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab al-Iman, 1/24, no. 14). Menggununglah jadinya.
Menurut
hadist di atas sebagai orang tua saya merasa “kenekan”, sebab belum
mengajarkan secara paripurna masalah cinta kepada Nabi dan keluarganya
ini. Baik langsung maupun tidak langsung. Atau merujuk
dalil kedua, bagaimana mau mengajarkan cinta itu kalau diri sendiri
belum bisa mencintai Nabi melebihi harta, keluarga dan seluruh manusia.
Nah, disitulah pokok masalah sebenarnya. Dan bagaimana bentuk cinta itu,
kadang masih absurd buat kebanyakan orang. Oleh karena itu, saya
merasa perlu menggali informasi lagi bagaimana cara mencintai Nabi dan
keluarganya, untuk kemudian bisa mengajarkannya. Tentunya dimulai dari
diri ini
sendiri.
Salah satu dalil yang sering beredar menjembatani pemahaman ini adalah begini,” Man ahya sunnatii faqod ahabbanii, waman ahabbani kaana ma’ii fil jannah - Barangsiapa yang menghidup-hidupkan sunnahku, sungguh dia cinta kepadaku. Dan barangsiapa yang mencintai aku maka dia akan bersamaku di surga.” Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, juga Suyuthi
dalam Jami'ush Shaghir, dan dikeluarkan pula oleh Muhammad Abdullah al
Khathib al Tabrazi dalam Misykatul Mashabih. Tirmidzi berkata: Hadits
hasan gharib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingatkan,“Sebaik-baik
perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan (dalam urusan agama), setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (Hadis riwayat Muslim, 4/359, no. 1435)
“Katakanlah
(wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu.”
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali Imran, 3: 31)
Senin, 21 Januari 2013
Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa
Syaikh Sulaiman; Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa
Ketaqwaan merupakan ro’sul hikmah (puncak hikmah), dengan taqwa seseorang akan beruntung di dunia dan akhirat. Masalah ketaqwaan inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam khutbah Jumat yang disampaikan oleh Syeikh Sulaiman Fifi seorang dosen Ma’had Haram yang berkunjung ke Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kediri.
“Taqwa adalah al khouf minalloh, mengamalkan perintah Alloh, ridho terhadap qodar Alloh dan mempersiapkan diri untuk menghadap kepada Alloh”, kata Syeikh Sulaiman dalam khutbahnya yang disampaikan di masjid Jabal Nur PAC LDII Kumbokarno Wonosalam Jombang (18/01/13).
Kemudian dalam uraiannya, Syeikh Sulaiman menyebutkan bahwa yang dimaksud al Khouf minalloh adalah at tauhid, kemudian praktek amalan yang paling tinggi setelah tauhid adalah mengerjakan solat lima waktu, selanjutnya adalah zakat, puasa romadlon serta haji ke baitulloh bagi yang sudah mampu.
Nerimo terhadap rizqi dari Alloh atau qona’ah adalah termasuk bagian dari ridho terhadap qodar dari Alloh. Sedangkan yang terakhir dari perincian taqwa sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Sulaiman adalah mempersiapkan diri untuk menghadap kepada Alloh di hari qiyamat dengan cara bagaimana seseorang bisa menghiasi diri dalam hidupnya ini dengan amal-amal yang baik sehingga bisa husnul khotimah dan tidak melumuri diri dengan amal-amal yang jelek selama hidupnya sehingga menjadi hidup yang suu’ul khotimah na’uudzu billaahi min dzaalik. (gB)
sumber: http://www.walibarokah.org
Mufti Mekkah Akui Perjuangan Agama KH. Nurhasan (alm)
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) saat ini semakin berkembang
pesat. Terbukti dengan merambahnya gerakan dakwah ini sampai ke manca
negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, Amerika, Eropa bahkan
sampai ke Saudi Arabia terutama Mekkah. Di Indonesia sendiri LDII sudah
ada di 33 provinsi, 302 Kabupaten dan Kota, 1637 PC (setingkat
kecamatan) dan 4500 PAC (setingkat desa/kelurahan) seluruh Indonesia.
Dari segi jumlah jamaah juga mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Menurut catatan Departemen Agama pada tahun 1989 jumlah jamaah LDII
mencapai 30 juta orang.
Hal ini tidak luput dari pengamatan Syeikh Dr. Abdullah Nasri Yahya Al Asiri, seorang mufti dari Makkah Saudi Arabia serta dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah. Perkembangan yang sangat pesat ini tidak terlepas dari perjuangan tokoh-tokoh yang ada didalamnya, tak terkecuali KH. Nurhasan Al Ubaidah (Alm). “Perkembangan LDII yang demikian pesat ini adalah buah dari perjuangan Syeikh Nurhasan Al Ubaidah yang ‘alim robbaaniy (seseorang yang berilmu dan ahli mendidik)”, kata Syeikh Abdullah di Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kediri.
Pada Kamis malam, 17/01/13 pukul 22.00 wib beliau Syeikh Dr. Abdullah Nasri kembali mengunjungi Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kota Kediri. Dalam kunjungan yang untuk ke sekian kalinya ini beliau ditemani oleh Syeikh Sulaiman Fifi yang juga seorang dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah.
Selain berlibur, kedua Syeikh tersebut juga akan mengadakan dauroh ilmiyah yaitu pengkajian kitab Umdatul Ahkam dan kitab Al Irsyad selama satu minggu yang diikuti oleh sekitar 200 ustadz-ustadz LDII alumni Pondok Pesantren Walibarokah dari seluruh Indonesia. (gB)
sumber: http://www.walibarokah.org
Hal ini tidak luput dari pengamatan Syeikh Dr. Abdullah Nasri Yahya Al Asiri, seorang mufti dari Makkah Saudi Arabia serta dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah. Perkembangan yang sangat pesat ini tidak terlepas dari perjuangan tokoh-tokoh yang ada didalamnya, tak terkecuali KH. Nurhasan Al Ubaidah (Alm). “Perkembangan LDII yang demikian pesat ini adalah buah dari perjuangan Syeikh Nurhasan Al Ubaidah yang ‘alim robbaaniy (seseorang yang berilmu dan ahli mendidik)”, kata Syeikh Abdullah di Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kediri.
Pada Kamis malam, 17/01/13 pukul 22.00 wib beliau Syeikh Dr. Abdullah Nasri kembali mengunjungi Pondok Pesantren Walibarokah LDII Kota Kediri. Dalam kunjungan yang untuk ke sekian kalinya ini beliau ditemani oleh Syeikh Sulaiman Fifi yang juga seorang dosen di Ma’had Haram Makkatul Mukarromah.
Selain berlibur, kedua Syeikh tersebut juga akan mengadakan dauroh ilmiyah yaitu pengkajian kitab Umdatul Ahkam dan kitab Al Irsyad selama satu minggu yang diikuti oleh sekitar 200 ustadz-ustadz LDII alumni Pondok Pesantren Walibarokah dari seluruh Indonesia. (gB)
sumber: http://www.walibarokah.org
Langganan:
Postingan (Atom)