Kenapa kita tidak berbudi luhur
Begitu segar menerima siraman dalil bulan
ini. Hati – hati yang menciut berbalut rindu, serasa longgar berpendar
terobati. Berkelana riuh menentang jaman. Kecemburuan yang dalam
menggebu menyambutnya. Berparas cantik dengan selarik postulat
keistimewaan budi pekerti. Siapa tak menginginkannya?
Dia
adalah kesempuranaan iman. Dengannya sempurnalah iman seseorang. Dia
adalah kemuliaan seseorang. Dengannya mulialah orang itu. Mendapatkan
derajat dan pangkat baik di sisi manusia maupun Tuhannya. Dengannya pula
adalah sebuah jalan mendapatkan cinta dari Allah dan makhluk lainnya.
Juga sumber mendapatkan kebaikan yang banyak. Bahkan mengalahkan
derajatnya orang yang berpuasa dan rajin sholat malam. Betapa indahnya.
Tak heran banyak diri ingin sekali memilikinya.
Namun
tak mudah. Di tengah keterbatasan dan keterhalangan, sebentuk api
harapan haruslah terus dijaga. Jangan sampai punah sebelum waktunya.
Setiap diri diberkahi kebaikan dan keburukan, sejak ia dilahirkan. Dan
dari sanalah bermula sebuah perjuangan perubahan. Menjadi insan yang
paripurna dengan berbudi yang luhur. Akhlaqul karimah. Mengembangkan
sikap baik sehingga keburukan tersudut dalam ruang sempit tindakan.
Sebab hakikinya pemberian (baca: sifat jelek) itu tidak bisa hilang sama
sekali.
Rasulullah SAW bersabda; “Apabila seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya,
maka setiap kebaikan yang dilakukannya akan ditulis untuknya sepuluh
kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap keburukan yang
dilakukannya akan ditulis untuknya seumpamanya.” (Rowahu al-Bukhary)
Marilah
terus berlomba, mendapatkan predikat berbudi mulia. Atau kita hanya
pernah mengenalnya saja. Tanpa bisa melakukan dan mengamalkannya. Apakah
itu mungkin? Ya, sebagaimana terbitnya siang dan malam.
Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa
yang berbuat baik di dalam islam, niscaya dia tidak terkena sanksi
karena perbuatannya di jaman jahiliyah, dan barang siapa yang berbuat
jelek di dalam islam, maka dia terkena sanksi dari dosa yang awal dan
akhir.” (Rowahu al-Bukhary)
Dan
serasa lengkap sudah, tuntunan dan tuntutan. Tinggal diri ini mau apa
tidak? Ingin menjadi baik apa tidak? Berbudi pekerti luhur apa tidak?
Semua butuh perjuangan. Menghiasi iman dan amal shalih.
Salah
satu yang perlu dihindari dalam memagari usaha menjadi pribadi yang
ihsan, dengan budi pekerti yang luhur adalah jangan pernah mengundat –
undat. Maksudnya mengungkit perbuatan baik yang telah kita lakukan. Atau
menganggap diri telah baik dengan perbuatan yang telah kita kerjakan.
Biarlah orang lain yang menilai. Kita tetap berusaha di atas hukum Allah
dan RasulNya saja. Biarkanlah penilaian itu datang dengan sendirinya,
laksana air yang mengalir, yang pada akhirnya bermuara ke samudera.
Tidak seperti cerita lobak dan perempuan tua.
Seorang
perempuan tua meninggal dunia dan dibawa ke hadapanNya oleh para
malaikat. Namun ketika diperiksa catatan hidupnya, tidak ditemukan kebaikan satu pun yang dilakukannya kecuali sebuah lobak, yang pernah diberikannya kepada pengemis kelaparan.
Tetapi demikian besar kekuatan satu kebaikan itu, hingga diputuskan, bahwa ia diangkat ke surga dengan kekuatan lobak itu. Lobak itu dibawa ke sidang dan diberikan kepadanya. Pada saat ia menyentuhnya lobak mulai naik seperti ditarik oleh penggerak tak kelihatan, mengangkat perempuan itu ke surga.
Datanglah seorang pengemis. Ia memegang pinggiran pakaiannya dan diangkat bersamanya. Orang ketiga berpegang pada kaki pengemis itu dan ikut diangkat juga. Tidak lama sudah ada
deretan panjang orang-orang terangkat ke surga oleh lobak itu. Dan mungkin aneh nampaknya, perempuan itu tidak merasa beratnya orang itu semua, yang berpegangan pada dia; nyatanya, karena ia memandang ke surga, ia tidak melihat mereka.
Mereka meningkat semakin tinggi sampai mereka hampir mendekati pintu gerbang surga. Pada waktu itu perempuan tadi melihat ke bawah, untuk terakhir kali melintaskan pandangannya ke dunia dan melihat deretan orang di belakangnya. Ia menjadi marah. Ia memerintahkan dengan lambaian tangan dan berteriak. "Pergi, pergi kamu semua. Lobak ini kepunyaanku."
Karena melambaikan tangan itulah, ia melepaskan lobak sesaat saja - dan ia jatuh ke bawah membawa seluruh rombongan.
Pada
dasarnya setiap orang bisa berbuat kebajikan, walau pasti ada juga
kekurangannya dan sifat jelek yang terus mengikutinya. Berangkat dari
kondisi seperti inilah kita harus bisa membuktikan bahwa kita bisa
memupuk bibit kebajikan yang ada dalam diri dan mengurung bibit
kejelekan. Akhirnya kita tahu: “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”
SAPMB AJKH
Salam,