Labels

Selasa, 09 Juni 2015

Out of the Box

Ihsan
 
Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, karya Ibnu Arabi, ada kisah menarik untuk dijadikan pembelajaran seksama. Sengaja saya menyampaikan ini, untuk mengasah kembali potensi diri dan menggugah kesadaran diri yang sering digaungkan oleh para motivator agar setiap diri untuk bisa berfikir out of the box. Secara umum bisa saya simpulkan, bahwa sebagai orang yang relijius - beragama, sebenarnya kita sudah terbiasa berfikir out of the box. Karena kita sudah tidak berfikir masalah dunia melulu yang menjadi box kita, tetapi menyiapkan diri untuk perjalanan setelah dunia. Masalahnya seberapa besar dan seberapa benar daya out of the boxnya itu, sehingga mampu membuat diri kita mengenali diri sendiri dan meretas jalan menuju Ilahi Robbi. Salah satunya belajar ihsan dan menjadi ihsan, sebagaimana dituturkan dengan cukup runut dan rapi oleh Ibnu Arabi. Semoga kita mampu meneladaninya.
 
Sebelum melangkah lebih jauh, dengan penuh kesadaran dan kerendah-hatian saya mohon maaf, jika ternyata tulisan ini malah membuat kemunduran atau kerancuan pemahaman karena berbagai sebab. Tak ada maksud, kecuali baik dan mukhlish lillah. Mungkin ada yang mempertanyakan sumbernya, menyangsikan kebenarannya atau hal buruk lain di luar budi dan kemampuan saya, silahkan meng-ignore tulisan ini dan maafkanlah atas kelancangan ini. Tak ada yang lebih saya takutkan kecuali hanya bertemunya kebaikan dengan kesalahpahaman.  Semua bermaksud baik hanya berselisih sudut pandang dan cara menyampaikan.
 
Terkisah, seorang murid menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. “Wahai Guru, semalam aku mengkhatamkan Alquran dalam shalat malamku.
 
Sang Guru tersenyum. “Bagus Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Alquran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.”

Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Guru,”  katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Alquran itu.”
 
Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang Guru sembari menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para shahabat Nabi yang telah mendengar Alquran itu langsung dari Rasulullah. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”

Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “
Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Alquran yang dapat aku lafalkan.

Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala sang murid. “Nanti malam bacalah Alquran dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah SAW sendiri. Orang yang kepadanya Alquran diturunkan.''

Seusai shalat Shubuh, sang guru bertanya, “
Bagaimana shalatmu semalam?
Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si murid sambil mendesah, “Itu pun dengan susah payah.”

Masya Allah,” kata sang Guru sambil memeluk sang murid dengan bangga. “Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah  yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Alquran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”

Keesokan harinya, ternyata sang murid itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguknya. “
Ada apa denganmu?” tanya Sang Guru.
 
Sang murid berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, cuma al-Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah” tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.”

Nak...,” kata sang Guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.

Bagi yang rindu kenikmatan ibadah, rindu manisnya iman, haus segarnya islam serta butuh indahnya beramal, inilah jalan sempurna bernama ihsan.  Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar, dijelaskan dengan paripurna pengertian ihsan tertinggi ini. Rasululloh Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menafsirkannya, ihsan yaitu "Bahwa engkau (beribadah) menyembah Alloh Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Seperti kisah di atas, bila seseorang berhasil menghimpun hati dan perasaannya, ketika sedang melakukan peribadatan dan merasakan bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala  melihatnya, maka akan tercapailah tingkatan yang paling tinggi dalam agama ini.
 
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata: “ Anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “Anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya, maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. Aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (rowahu Muslim)
 
Sejujurnya ihsan ini tidak hanya kepada Allah saja. Bahkan dalam Hari Kurban  pun kita diingatkan kembali tentang ihsan. Simak hadits berikut ini.
 
Dari Syaddad bin Aws, dia berkata, "Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasululloh Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya Alloh Ta'ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.'" (HR: Muslim)
 
Maka, sejatinya kita dituntun untuk bisa ihsan dalam segala hal. Tidak hanya kepada Allah, tetapi dari Yang Maha Tertinggi sampai kepada semua makhluk, yang terendah sekalipun di bumi ini. Dan itulah mengapa ihsan menjadi penting sebagai hal yang harus dimiliki bagi mereka yang berpredikat islam dan iman.
 
Dan mari cermati, bagaimana ihsan bertempat pada diri ini. Sudahkah?  

@ oleh
Faizunal Abdillah--dari sebuah milis