Labels

Senin, 02 Desember 2013

Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Hairuni*



Fatimah sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa telah diangkat
khalifah baru, Umar bin Abdul Azis yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau Sang Raja baru dikabarkan menolak
segala fasilitas istana.



Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari,
membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan
besar-besaran dan penuh kemewahan.


Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia
sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yang sangat identik dengan kemewahan
hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal
tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?


Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari
kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya
terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yang lalu tatkala ia
berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya
gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.


Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh
kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! Bukankah
engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan
kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat
Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu
akan terabaikan.



Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani
hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal
menjemputku.”




“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.


“Fatimah...! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada
ditangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta
tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah
yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak
akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah
tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana
perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka
berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab
Umar bin Abdul Aziz.


Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku...apa yang sebenarnya membuat engkau
berubah sedemikian rupa?”


“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu
dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang
tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga adalah impian
terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.


Aneh. Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah,
dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal, tidak
kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak menunjukan kekesalan dan
keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap ia menegaskan,
“Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia
disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”


Fatimah merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara putra
khalifah daulah Abbasyiah yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Layaknya
putri raja, fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yang
mewah, hidup dengan penuh kasih sayang dan dimanja oleh kedua orang tuanya
dan saudara-saudaranya. Kebahagiannya menjadi sempurna dengan dipersunting
oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga yang
terhormat yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang hidup penuh dengan
keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yang relegius
dan sangat amanah.


Fatimah yang agung itu menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yang
akan dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam
kehidupan, demi bakti dan keridaan sang suami yang tercinta. Ia rela
meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya, semuanya
dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang
kuat.


Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Pakaian
yang dikenakan, makanan yang disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan
semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa padahal status yang mereka sandang
adalah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.


Begitu sederhananya konsep kehidupan yang mereka terapkan, orang yang belum
mengenal tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat islam
kala itu. Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir untuk menemui
khalifah di rumahnya. Sesampai di rumah yang ditunjukkan, ia melihat
seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang sederhana sedang
memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki pagar rumah yang dalam
kondisi rusak.


Setelah berkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah
Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tamu itu pun
menanyakan sesuatu hal, “Ya Sayyidati..., mengapa engkau tidak menutup
auratmu dari orang yang sedang memperbaiki pagar rumah engkau?” Seraya
tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz
yang sedang engkau cari. []



Tidak ada komentar:

Posting Komentar