Labels

Rabu, 13 Februari 2013

Budi Luhur

Kenapa kita tidak berbudi luhur
Begitu segar menerima siraman dalil  bulan ini. Hati – hati yang menciut berbalut rindu, serasa longgar berpendar terobati. Berkelana riuh menentang jaman. Kecemburuan yang dalam menggebu menyambutnya. Berparas cantik dengan selarik postulat keistimewaan budi pekerti. Siapa tak menginginkannya?
Dia adalah kesempuranaan iman. Dengannya sempurnalah iman seseorang. Dia adalah kemuliaan seseorang. Dengannya mulialah orang itu. Mendapatkan derajat dan pangkat baik di sisi manusia maupun Tuhannya. Dengannya pula adalah sebuah jalan mendapatkan cinta dari Allah dan makhluk lainnya. Juga sumber mendapatkan kebaikan yang banyak. Bahkan mengalahkan derajatnya orang yang berpuasa dan rajin sholat malam. Betapa indahnya. Tak heran banyak diri ingin sekali memilikinya.
Namun tak mudah. Di tengah keterbatasan dan keterhalangan, sebentuk api harapan haruslah terus dijaga. Jangan sampai punah sebelum waktunya. Setiap diri diberkahi kebaikan dan keburukan, sejak ia dilahirkan. Dan dari sanalah bermula sebuah perjuangan perubahan. Menjadi insan yang paripurna dengan berbudi yang luhur. Akhlaqul karimah. Mengembangkan sikap baik sehingga keburukan tersudut dalam ruang sempit tindakan. Sebab hakikinya pemberian (baca: sifat jelek) itu tidak bisa hilang sama sekali.
Rasulullah SAW bersabda; Apabila seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya akan ditulis untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap keburukan yang dilakukannya akan ditulis untuknya seumpamanya.” (Rowahu al-Bukhary)
Marilah terus berlomba, mendapatkan predikat berbudi mulia. Atau kita hanya pernah mengenalnya saja. Tanpa bisa melakukan dan mengamalkannya. Apakah itu mungkin? Ya, sebagaimana terbitnya siang dan malam.
Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang berbuat baik di dalam islam, niscaya dia tidak terkena sanksi karena perbuatannya di jaman jahiliyah, dan barang siapa yang berbuat jelek di dalam islam, maka dia terkena sanksi dari dosa yang awal dan akhir.” (Rowahu al-Bukhary)
Dan serasa lengkap sudah, tuntunan dan tuntutan. Tinggal diri ini mau apa tidak? Ingin menjadi baik apa tidak? Berbudi pekerti luhur apa tidak? Semua butuh perjuangan. Menghiasi iman dan amal shalih.
 
Salah satu yang perlu dihindari dalam memagari usaha menjadi pribadi yang ihsan, dengan budi pekerti yang luhur adalah jangan pernah mengundat – undat. Maksudnya mengungkit perbuatan baik yang telah kita lakukan. Atau menganggap diri telah baik dengan perbuatan yang telah kita kerjakan. Biarlah orang lain yang menilai. Kita tetap berusaha di atas hukum Allah dan RasulNya saja. Biarkanlah penilaian itu datang dengan sendirinya, laksana air yang mengalir, yang pada akhirnya bermuara ke samudera. Tidak seperti cerita lobak dan perempuan tua.
 
Seorang perempuan tua meninggal dunia dan dibawa ke hadapanNya oleh para malaikat. Namun ketika diperiksa catatan hidupnya, tidak ditemukan  kebaikan  satu  pun  yang dilakukannya  kecuali sebuah lobak, yang pernah diberikannya kepada pengemis kelaparan.
 
Tetapi demikian besar kekuatan satu kebaikan itu,  hingga diputuskan, bahwa ia diangkat ke surga dengan kekuatan lobak itu. Lobak itu dibawa  ke  sidang  dan  diberikan kepadanya.  Pada  saat  ia  menyentuhnya  lobak  mulai  naik seperti ditarik oleh  penggerak  tak  kelihatan,  mengangkat perempuan itu ke surga.
 
Datanglah seorang pengemis. Ia memegang pinggiran pakaiannya dan diangkat bersamanya. Orang ketiga berpegang  pada  kaki pengemis  itu  dan  ikut diangkat juga. Tidak lama sudah ada
deretan panjang orang-orang terangkat ke surga oleh lobak itu. Dan mungkin aneh nampaknya, perempuan itu tidak merasa beratnya  orang  itu  semua,  yang  berpegangan  pada   dia; nyatanya,  karena  ia  memandang  ke surga, ia tidak melihat mereka.
 
Mereka  meningkat  semakin  tinggi  sampai   mereka   hampir mendekati pintu gerbang surga. Pada waktu itu perempuan tadi melihat ke bawah, untuk terakhir kali melintaskan  pandangannya ke dunia dan melihat deretan orang di belakangnya. Ia  menjadi  marah. Ia memerintahkan dengan lambaian tangan dan  berteriak.  "Pergi,  pergi  kamu semua.   Lobak ini kepunyaanku."
 
Karena  melambaikan tangan itulah, ia melepaskan lobak sesaat saja - dan ia jatuh ke bawah membawa seluruh rombongan.
 
Pada dasarnya setiap orang bisa berbuat kebajikan, walau pasti ada juga kekurangannya dan sifat jelek yang terus mengikutinya. Berangkat dari kondisi seperti inilah kita harus bisa membuktikan bahwa kita bisa memupuk bibit kebajikan yang ada dalam diri dan mengurung bibit kejelekan. Akhirnya kita tahu: “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”
 
SAPMB AJKH
 
Salam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar