Labels

Kamis, 15 Desember 2011

Mencinta

Mencinta
Suatu malam Ibrahim bin Adham bermimpi. Dia adalah tokoh sufi yang getol beribadah kepada Allah di zamannya. Dalam mimpinya itu, dia melihat malaikat sedang membawa catatan daftar orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah.  Namun, betapa kagetnya dia, ternyata namanya tidak tercantum dalam buku itu. Padahal, dengan sudah pol-polan menjalankan syariat ibadah siang dan malam, harapannya tak lain adalah agar dicintai Allah. Tetapi, kenapa tercantum saja tidak? Berarti ada yang salah dengan cara ibadahnya yang melulu berurusan dengan Allah selama ini. Maka dia pun mengubah haluannya. Lantas dia berkata, ’Kalau begitu saya akan lebih banyak bermu’amalah mencintai sesama manusia.”
Selang beberapa waktu dia menengok kembali catatan malaikat tentang daftar orang – orang yang mencintai dan dicintai Allah. Sekarang betapa bahagianya dia, ternyata namanya bertengger di urutan teratas orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah.
Kisah di atas hanyalah sebuah cerita atau boleh dianggap lelucon saja, tapi kalau mau jujur masih banyak orang yang mengerjakan model ibadah sepertinya. Malahan tak jauh – jauh, mungkin kita juga termasuk di dalamnya. Beribadah senangnya hanya kepada Allah saja. Kadang kalau berurusan dengan makhlukNya, ogah. Bahkan, kalau boleh sekalian menolaknya. Bagaimana hal itu bisa? Simaklah riwayat Imam Muslim berikut ini.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda : "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat, 'Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.' Orang itu bertanya, 'Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?', Allah menjawab, 'Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?'. 'Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.' Orang itu menjawab, 'Ya Rabbi , bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?'. Allah menjawab, 'Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kau beri makan ? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati hal itu di sisiKu ?'. 'Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.'  Orang itu bertanya, 'Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta ?'. Allah menjawab, 'Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu  dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?"
Banyak hal bisa membuat kita salah arah dan tujuan dalam beribadah. Alih – alih memperoleh hasilnya, justru hal tak diharapkanlah yang terjadi. Salah satunya karena keterbatasan pemahaman. Banyak awan penghalang pemahaman yang bergelayut di langit pikiran, sehingga menutupi indahnya cakrawala kehidupan. Atau melihat dengan kaca jendela yang salah. Yang kotor, kusam dan berdebu, sehingga pemandangan yang indah pun jadi kusam terlihatnya. Bukan mata yang salah, pun pemandangan yang rusak. Tapi kaca jendela penglihatan kita yang perlu dibersihkan. Oleh karena itu, bagi pemerhati kehidupan, pencinta kehidupan, penekun kehidupan, mari kita sibak salah satu rahasia yang belum banyak dipahami oleh kalayak berkaitan dengan puasa beberapa bulan yang lalu. Mau ?
Semua orang tahu bahwa tujuan akhir orang berpuasa adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam KitabNya: Wahai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana orang – orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang – orang yang bertaqwa.”  (Al-Baqarah 183) Nah, yang belum banyak dipahami oleh khalayak dalam hal ini adalah pengertian taqwa secara spesifik kaitannya dengan puasa. Saya yakin semua akan menjawab yang disebut taqwa adalah menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Sebagian lagi ada yang menjawab ringkas saja; taqwa adalah takut. Pengertian ini benar. Tidak salah. Bahkan sesuai dengan penjelasan para imamu salaf seperti Imam Al-Hasan Al-Bashri  yang menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Lebih jauh gambaran taqwa bisa kita simak dari dialog Sahabat Rasulullah SAW, Umar Bin Khaththab dengan Ubay bin Ka’ab misalnya. Suatu ketika, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang apa itu taqwa. Ubay balik bertanya : “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) taqwa.”
Mari kita kembangkan sedikit pengertian mendasar ini. Agar terbuka cakrawala hati kita. Dan mampu memandang kehidupan ini dengan indahnya. Sebab di sisi lain ada sebuah definisi bagus yang belum banyak diketahui orang masalah taqwa ini dari Sahabat Rasulullah SAW yang lain yaitu Ali bin Abi Thalib ra. Suatu hari, seorang sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra. tentang apa itu taqwa. Beliau menjelaskan bahwa taqwa itu adalah  takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka atau siksa semata.
Tanpa menyalahkan dan menunjuk hidung orang lain, mari tambahkan pengertian taqwa kita dengan sejumput rasa cinta ini. Insya Allah akan lebih manis, lebih indah dan lebih sempurna. Sebagai padanannya coba kita simak kembali hadits riwayat Imam al-Bukhary yang menyebut tentang masalah manisnya iman. Di situ dengan jelas bahwa Rasulullah SAW menyebut kata cinta lebih banyak ketimbang takut/benci. Nabi SAW menyebutkan cinta kepada Allah, Rasul dan mu’min, bukan dengan kata takut. Dari Anas ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, “Ada tiga perkara barangsiapa tiga hal itu ada pada dirinya, maka ia menjumpai manisnya iman, yaitu jika Allah dan RasulNya lebih dicintainya ketimbang selain keduanya, dan jika cinta kepada seseorang, dimana tidak mencintainya kecuali karena Allah dan jika benci kembali kepada kekafiran sebagaimana benci apabila dilempar ke dalam api neraka.” (Rowahu al-Bukhary Juz I Bab Halawatul Iman)
Orang yang bertaqwa selalu rindu kepada Allah karena cinta, bukan takut. Dan cinta senantiasa menimbulkan kerinduan.  Sementara itu takut lebih sering mendatangkan kebencian. Mari kita bandingkan. Bagaimana perasaan kita pada orang-orang yang kita cintai: pasangan, anak-anak, orang tua, dan sanak - saudara? Kalau kita berhari-hari tak bertemu dengan mereka, bagaimana rasanya? Rindu atau bencikah? Pasti rindu bukan? Sekarang bayangkan orang yang kita takuti (misalnya bos yang galak). Bagaimana rasanya kalau berhari-hari kita tak bertemu dengan bos tersebut? Senang bukan? Jadi jelas, perasaan cinta itu jauh lebih tinggi daripada perasaan takut. Dengan demikian kita bisa mereposisi taqwa menjadi cinta bukan sekedar takut saja.
Nah, secara khusus juga Allah memberikan isyarat lain dari ibadah puasa ini, sebagai penjelas ayat di atas. Apa itu? Yaitu janji Allah bahwa puasa itu untukKukata Allah dan Allah yang akan membalasnya. Tak ada amalan yang seistimewa seperti ini, kecuali hanya puasa. Allah ingin mengungkapkan bahwa taqwa bisa ditempuh dengan jalan berpuasa, dimana hamba berhubungan langsung dengan Tuhannya, semakin dekat, dekat  dan dekat, sehingga semakin tumbuh rasa cinta. Maka tak ada salahnya, jika dikatakan taqwa terbangun karena cinta. Kita diwajibkan berpuasa supaya bertaqwa yang intinya adalah merasakan bahwa Tuhan itu dekat dan hadir dalam keseharian kita, sehingga tumbuh subur kedekatan itu dalam aroma cinta. Inilah esensi cinta yang tertinggi.
Mari kita dalami lagi dengan contoh yang lebih konkrit dalam masalah cinta ini. Bayangkan saat-saat Anda mencintai seseorang. Anda akan memulainya dengan level cinta yang pertama yaitu percaya. Anda percaya pada kekasih Anda. Anda percaya akan bahagia bila hidup bersamanya. Anda percaya ia tak akan mengkhianati Anda. Dalam konteks Ilahiah, inilah yang disebut iman.
Berbekal kepercayaan ini Anda kemudian memasuki cinta tahap kedua yaitu perbuatan atau tindakan nyata. Anda menikah dengan orang yang Anda cintai. Anda mengucapkan ijab kabul. Dalam agama, ini dapat dianalogikan dengan kalimat syahadat. Kemudian Anda melakukan tindakan-tindakan cinta kepada kekasih Anda. Ini bisa dianalogikan dengan melaksanakan Rukun Islam lainnya.
Cinta yang tertinggi setelah itu (tingkat ketiga) adalah merasakan kehadiran orang yang kita cintai dimana pun kita berada. Walaupun secara fisik Anda berjauhan, spirit Anda selalu bersama-sama. Ada suatu kontak batin yang mendalam yang selalu terjalin. Dengan demikian Anda tak akan mengkhianati pasangan Anda. Bukan karena takut kepadanya, melainkan karena kecintaan Anda yang begitu besar.
Maka secara spesifik kita bisa menyebut taqwa sebagai cinta. Taqwa adalah mencintai Allah dalam tingkatan yang tertinggi, yaitu dengan senantiasa merindukan keasyikan bercengkerama denganNya. Taqwa berarti merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah kita. Allah sungguh dekat. Merasakan bahwa Allah selalu bersama kita sehingga menghindarkan kita dari rasa takut dan cemas, serta akan menumbuhkan rasa percaya diri dan integritas yang tinggi.
Kita semua ingin menjadi manusia bertaqwa. Lewat puasa, lewat sholat sunnahnya, lewat baca qurannya dan mempeng ibadah – ibadah lainnya. Walau begitu, kita jangan sampai terbuai, asyik bercengkerama dengan Allah Yang Esa saja. Sebab cinta yang sebenarnya haruslah diwujudkan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain di sekitar kita, khususnya dalam bentuk akhlakul karimah. Lihatlah sabda Rasulullah SAW; “Sungguh seorang mukmin karena akhlak baiknya, akan mendapatkan derajat orang yang puasa dan shalat malam.” (Shahih Sunan Abu Dawud dari riwayat ‘Aisyah).
Kepedulian kita kepada sesama, perhatian kita kepada lingkungan sekitar, cinta kasih kita kepada sekililing - yang terangkum dalam akhlak yang baik, mampu mendahului kegigihan hamba dalam berpuasa dan bangun malam. Dalam hal ini seorang bijak pernah mengingatkan; ''Yang penting bukan seberapa besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam perbuatan kita.'' Oleh karena itu, setelah tahu kaitan taqwa dengan cinta ini, maka selanjutnya jangan sampai salah dalam mencinta.  Mencinta di jalur Allah saja (Hablum minallah) bisa celaka. Memilih mencinta di jalan – jalan manusia dan alam sekitarnya (hablum minannas) juga berbahaya. Cermati gerak – langkah kita. Hablum minallah penting, tapi hablum minannas jangan sampai tertinggal begitu saja. Teruslah berbudi luhur dalam mengawal keimanan kita.
SAPMB JKH

Selasa, 06 Desember 2011

Siklus Hidup

Oleh Dedy Soedijarto

www.jokambelitang.blogspot.com

Kita hidup di dunia ini hanya merupakan salah satu dari beberapa tahapan atau siklus kehidupan di dunia ini yang di ciptakan oleh Alloh SWT yang wajib kita lalui sebelum kita menjalani kehidupan yang kekal. Ibaratkan sekolah kita harus melewati yang namanya Alam roh, alam rahim, dunia, alam kubur dan akhirnya surga atau neraka yang merupakan hasil akhir apakah kita lulus atau tidak. Bedanya di sini kita tidak ada yang namanya HER alias ujian ulangan. Kalau kita tidak lulus ya neraka hadiahnya. Di alam dunia ini kita mengalami dua hal yaitu ujian nikmat dan musibah atau kegagalan. Untuk bisa melalui ujian tersebut kita harus bisa yang namanya bersyukur, baik itu atas nikmat ataupun musibah, semua harus di syukuri. Untuk bisa bersyukur kita harus beriman dulu, tau hukum-hukum (berilmu), beribadah serta beramal. Kalau hal itu kita tidak punya niscaya kita tidak akan bisa untuk bersyukur, seperti dalam sebuah hadist “Tidak terjadi pada seseorang kecuali bagi orang iman, jika ia

mendapat kegembiraan maka dia bersyukur & jika mendapat kesusahan maka sabar dia (HR.Muslim)” Kita juga harus menjauhi sifat “WAHNA” yaitu sifat yang senang akan kenikmatan dunia dan takut kepada akhirat. So.... kalau kita mempunyai sifat ini sudah bisa dipastikan hidup kita cukup puas hanya dengan dunia, mengejar kenikmatan dunia yang tentunya hanya sesaat. Karena kehidupan kekal sebenarnya setelah kita mati nanti.

Kenapa kita harus mensyukuri musibah..??? Musibah itu ujian buat kita yang di berikan oleh Alloh SWT yang maha segala-galanya untuk mengetahui apakah hambanya itu beriman atau tidak. Dengan nikmat pasti kita akan mudah sekali untuk bersyukur tapi dengan musibah itu yang susah, bahkan tidak jarang kita malah mengumpat, mencaci bahkan kita menyalahkan Sang Pencipta, nah ini yang harus kita hindari. Dengan sedikit ujian kita lantas jadi kuffur, massyaalloh kita yang rugi akhirat tentunya. Dibalik semua cobaannya Alloh, Alloh sudah menyiapkan takdir yang terbaik buat kita. Rasa sesal selalu datang terlambat itu sudah Qodar.

Dalam menjalani kehidupan ini, kita di ibaratkan wayang dan Alloh adalah dalangnya, jadi lakon apapun yang di kehendaki sang dalang pasti akan terjadi. Kita sebagai wayang (Umat) hanya bisa berusaha dan berdoa agar kita mendapatkan segala sesuatunya yang terbaik. Sebagai wayang kita patut tunduk dan taat kepada dalang begitupun sebagai manusia kita wajib taat dan tunduk kepada Alloh SWT.

Hidup di dunia ini ibarat kita berada di dua persimpangan jalan, kalau ke kanan surga, kekiri neraka. Kita tinggal memilih, kalau mau ke kanan ya tinggal menetapi, mempersungguh dan mengamalkan Qur’an dan Hadist nah kalau ke kiri ya tinggal melakukan banyak pelanggaran, dapet deh neraka. Masuk neraka itu paling guuuaampang karena neraka itu tempat segala kenikmatan dunia. Contohnya ya berzina, maksiat, tidak iman kepada Alloh intinya. Kalau surga itu sebaliknya, berat dan banyak godaannya. Insyaalloh dengan kita terus mengaji mencari ilmu maka tidak ada yang berat di dunia ini. Di niatkan semuanya karena Alloh insyaalloh kita bisa mendapatkan surga selamat dari neraka. Dalam salah satu firmannya “Alloh berkata, jika engkau lebih mengejar duniawi dari pada mengejar dekat denganKu maka aku berikan, tapi aku akan menjauhi kalian dari surgaku.....

Semoga coretan ini bisa bermanfaat dan barokah...!!!!!!

Rabu, 16 November 2011

SEA Games (Pencak Silat)

sumber : http://id.berita.yahoo.com
Jakarta (ANTARA) - Pesilat tim Indonesia masing-masing kategori putra dan putri berhasil menyabet medali emas pada SEA Games XXVI, Selasa malam.
Dengan demikian, keenam emas yang diperebutkan Selasa (15/11) semua disapu bersih Timnas Indonesia pada final pencak silat kategori seni bela diri.

Untuk juara I tim "Merah Putih" yang sukses mendulang medali emas adalah Zakki Imadudin, Exa Purbianto dan Abdul Muqit Iryat dengan nilai 461, catatan waktu 03.00 menit,

Juara II medali perak diraih tim Vietnam yakni Nyuyen Thanh Tung, Nguyen Tien Tai dan Nguyen Huu Tuan skor 540 dengan waktu 03.00 menit.
Sedangkan juara III perunggu diraih tim Brunei Darussalam yaitu AWG Abdul Malik Bin Haji Ladi, Jufri Bin Haji Junaidi dan Abdul Rahman Bin Haji Asli dengan nilai 451, waktu 03.01 menit.

Sementara untuk tim putri juara I diraih Indonesia yaitu Kikih Dyah Ayuwati, Djuariah dan Yuli Adriani, skor 459, catatan waktu 03.00 menit. Sementara juara II tim Vietnam Thi Thuy Nguyen, Pham Thi Ha dan Thi Quyen Ngo serta juara III perunggu disabet tim Brunei Darussalam diperkuat oleh atlet Noerleyermah Bte Haji Raya, Noerleyharyanti Bte Haji Raya dan Nurul Aimi Amalina Bte Zainidi dengan skor 449, catatan waktu 03.00 menit.
Dalam kategori seni pencak silat tersebut memperebutkan sebanyak enam medali emas.
Pada kategori seni tersebut untuk perorangan putra adalah pesilat dari negara Malaysia, Singapura, Vietnam, Myanmar dan Indonesia.
Sedangkan untuk putri perorangan yang lolos final adalah Myanmar, Indonesia, Singapura, Malaysia dan Viatnam.
Untuk tim putra masuk final adalah Indonesia, Singapura, Vietnam dan Malaysia. Sedangkan tim putri adalah Indonesia, Singapura, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Untuk kategori tim putra, negara yang lolos final adalah Brunei Darussalam

Kamis, 27 Oktober 2011

Menoleh pada Perkeling Alloh

Seorang mandor bangunan yang berada di lantai 5 ingin memanggil pekerjanya yang sedang bekerja di bawah.Setelah sang mandor berkali-kali berteriak memanggil, si pekerja tidak dapat mendengar karena fokus pada pekerjaannya dan bisingnya alat bangunan. Sang mandor terus berusaha agar si pekerja mau menoleh ke atas, maka dilemparnya uang logam 1.000 rupiah yang jatuh tepat di sebelah si pekerja. Si pekerja hanya memungut uang Rp 1.000,- itu dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah berkali-kali melempar uang Rp.1000,- tapi tidak berhasil akhirnya sang mandor melemparkan uang Rp 100.000,- yang dia remas dulu dan berharap si pekerja mau menengadah sebentar saja ke atas. Akan tetapi si pekerja hanya lompat kegirangan karena
menemukan uang Rp 100.000,- dan kembali asyik bekerja. Pada akhirnya sang mandor melemparkan batu kecil yang tepat mengenai kepala si pekerja. Merasa kesakitan akhirnya si pekerja baru mau menoleh ke atas dan dapat berkomunikasi dengan sang mandor.


 Cerita tersebut di atas sama dengan kehidupan kita! ​Allah SWT selalu ingin menyapa kita, akan tetapi kita selalu sibuk mengurusi "DUNIA" kita! Kita diberi rizqi sedikit maupun banyak, sering kali kita lupa untuk menengadah untuk bersyukur! Bahkan lebih sering kita tidak mau tahu dari mana rizqi itu datangnya, bahkan kita selalu bilang "Kita lagi HOKI, Kita lagi UNTUNG". Yang lebih buruk lagi kita menjadi takabur, menganggap semua itu kita peroleh karena kepandaian kita, kepintaran kita, kerja keras kita, usaha kita dsb. Padahal rizqi milik Allah SWT . Jadi jangan sampai kita mendapatkan lemparan "BATU
 KECIL" yang disebut MUSIBAH baru kita mau menoleh kepada Allah SWT.
cerita FIKTIF (renungan/cantolan/permisalan) diatas sejalan dengan
uraian pak kyai...

-------------------------------

Menjaga Kemurnian Al-Qur’an dan Al-Hadits

Hindarilah amalan-amalan Jahiliyyah dan syirik

Bulan ini LDII menggelar pengajian di beberapa tempat dengan topik:
Menjaga Kemurnian Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Sejumlah ulama menyampaikan fatwa, “Jauhilah ucapan, perbuatan, dan
keyakinan Jahiliyyah dan syirik.

Contoh:

1), Sihir, guna-guna, ramalan nasib, gugon-tuhon.

2), Menentukan nasib dengan burung atau dengan garis-garis, atau
dengan perhitungan-perhitungan yang tidak masuk akal.

3), Mempercayai jika telah mati akan menjadi jrangkong atau burung
hantu atau gendruwo atau wewe gombel.

4), Mempercayai adanya bulan yang banyak kerusakannya.

5), Mempercayai ilmu junum (astrologi).

6), Mempercayai dukun syirik yang menggunakan bantuan jin.

7), Mempercayai jimat-jimat seperti keris, gelang, akik, haikal, kul
buntet, wesi kuning, kulit kebo landoh, menyalahgunakan ayat-ayat
Al-Qur’an untuk menyirep, dan kekebalan.”

Bukhari meriwayatkan di dalam Tarikhnya:

Abu Utsman Annahdi berkata, “Pernah ada lelaki melakukan atraksi menyembelih dan memisahkan kepala orang di sisi Walid; sontak kami takjub. Lalu dia mengembalikan lagi kepalanya. (di Indonesia - Banten
- dikenal dg sebutan: debus)

Sontak Jundab Al-Azdi datang untuk membunuh lelaki itu.

Abu Dawud meriwayatkan: سنن أبي داود - (ج 8 / ص 282)
2646 - حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ سَمِعَ بَجَالَةَ يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ
وَأَبَا الشَّعْثَاءِ قَالَ
كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الْأَحْنَفِ بْنِ
قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا
كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ
وَانْهَوْهُمْ عَنْ الزَّمْزَمَةِ فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ ثَلَاثَةَ
سَوَاحِرَ وَفَرَّقْنَا بَيْنَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَحَرِيمِهِ
فِي كِتَابِ اللَّهِ وَصَنَعَ طَعَامًا كَثِيرًا فَدَعَاهُمْ فَعَرَضَ
السَّيْفَ عَلَى فَخْذِهِ فَأَكَلُوا وَلَمْ يُزَمْزِمُوا وَأَلْقَوْا
وِقْرَ بَغْلٍ أَوْ بَغْلَيْنِ مِنْ الْوَرِقِ وَلَمْ يَكُنْ عُمَرُ
أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ


Artinya (isnadnya tidak diartikan):

Bajalah seorang tabi yang masyhur bercerita pada Amer bin Aus dan Abassyaksyai (أَبَا الشَّعْثَاءِ), “Saya dulu pernah menjadi penulis Jazu bin Muawiyyah (جَزْء بْن مُعَاوِيَةَ) paman Achnaf bin Qais.

Setahun sebelum wafat, surat Umar datang tiba-tiba:

‘Bunuhlah semua penyihir. Dan ceraikanlah antara semua (suami istri)
mahram dari Majusi. Dan laranglah mereka dari (zamzamah) bersuara
ketika makan!’.

Maka kami membunuh tiga penyihir dalam sehari, kami juga menceraikan
semua lelaki Majusi dari istrinya (yang haram) berdasarkan Kitab
Allah.

Jazu (جَزْء) mempersiapkan makanan lalu mengundang mereka lalu meletakkan pedang atas pahanya. Ternyata ketika mereka makan tidak bersuara. Mereka meletakkan bawaan satu atau dua kuda bagal mereka,
berbentuk perak.

Umar mutlak tidak menarik pajak dari kaum Majusi sehingga Abdur Rohman bin Auf menyampaikan persaksian bahwa Rasulullah SAW telah menarik pajak dari Majusi Hajar.

Menurut kami (penulis - red) nasehat diatas arahnya jelas sekali, agar meyakini hanya Allah yang menguasai ilmu ghoib, dan hanya Allah yang harus disembah dan dimohon agar merampungkan segala urusan kita.
Sebetulnya nasehat seperti di atas sudah selalu ditekankan sejak zaman dulu.

Dan Allah juga sudah menunjukkan dalam kehidupan nyata bahwa yang masih melakukan syirik rizqinya terhambat bahkan tertimpa musibah-musibah besar. Seperti fulan, fulana, dan fulani yang menjadi Kiai, mereka bertiga masih melakukan syirik, hingga Allah memberi peringatan dengan cobaan bertubi-tubi.

Kalau nasehat sejelas ini masih akan dilanggar, bisa jadi Allah akan menindak lebih keras. Kita harus menyadari bahwa gara-gara sekelompok orang bughot membunuh Utsman bin Affan, maka Allah meletakkan nuktah fitnah yang akhirnya menumbangkan kejayaan Islam dan membuat pemeluknya hina di mata akdak (أَعْدَاء) hingga mereka justru tertawa terbahak-bahak.

- end -

sumber: mulungan.org Dikutip dari milisjokam@yahoogroups.com

Selasa, 13 September 2011

Fitnah

Subhaanalloh
oleh: KH. Shobirun Ahkam

المعهد الإسلامى موليا ابدي


Togog berdialog “Kau telah mengikuti Jamaah-Sumber bid’ah. Dan tokohmu Nurhasan Ubaidah pernah mencuri di Makkah!.”

Saat kujawab “Manakah saksi dari itu fitnah?,”; dia justru marah.

Sayang sekali jika rajin mengaji namun tindakannya kurang wira’i. Tak tahukah bahwa orang-orang yang senang menyiarkan berita jelek di kalangan orang-orang iman akan diadzab Allah?[1].

Dulu ‘Aisyah istri Rasulillah juga pernah difitnah Abdillah. Di saat fitnah telah tersebar di kalangan para sahabah[2]; mereka resah dan susah, apa lagi ‘A’isyah dan Rasulillah.

Sekitar dua malam air-mata ‘A’isyah tumpah[3]. Abu Bakr dan istrinya menyangka hati ‘A’isyah pecah. Firman Tuhan diturunkan di saat kesusahan ‘A’isyah melambung ke puncak. Mungkin saat itu para syaitan sedang tertawa ngakak.


[1] Allah berfirman:

 إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ – Sesungguhnya orang-orang yang senang jika berita-jelek tersiar di kalangan orang-orang iman mendapatkan siksa yang sangat pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah tahu; sedangkan kalian tidak tahu.

[2]
 Maksudnya sahabat Nabi.

[3]
 Bukhari meriwayatkan:

 زَعَمُوا أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ أَزْوَاجِهِ ، فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ ، فَأَقْرَعَ بَيْنَنَا فِى غَزَاةٍ غَزَاهَا فَخَرَجَ سَهْمِى ، فَخَرَجْتُ مَعَهُ بَعْدَ مَا أُنْزِلَ الْحِجَابُ ، فَأَنَا أُحْمَلُ فِى هَوْدَجٍ وَأُنْزَلُ فِيهِ ، فَسِرْنَا حَتَّى إِذَا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ غَزْوَتِهِ تِلْكَ ، وَقَفَلَ وَدَنَوْنَا مِنَ الْمَدِينَةِ ، آذَنَ لَيْلَةً بِالرَّحِيلِ ، فَقُمْتُ حِينَ آذَنُوا بِالرَّحِيلِ ، فَمَشَيْتُ حَتَّى جَاوَزْتُ الْجَيْشَ ، فَلَمَّا قَضَيْتُ شَأْنِى أَقْبَلْتُ إِلَى الرَّحْلِ ، فَلَمَسْتُ صَدْرِى ، فَإِذَا عِقْدٌ لِى مِنْ جَزْعِ أَظْفَارٍ قَدِ انْقَطَعَ ، فَرَجَعْتُ فَالْتَمَسْتُ عِقْدِى ، فَحَبَسَنِى ابْتِغَاؤُهُ ، فَأَقْبَلَ الَّذِينَ يَرْحَلُونَ لِى ، فَاحْتَمَلُوا هَوْدَجِى فَرَحَلُوهُ عَلَى بَعِيرِى الَّذِى كُنْتُ أَرْكَبُ ، وَهُمْ يَحْسِبُونَ أَنِّى فِيهِ ، وَكَانَ النِّسَاءُ إِذْ ذَاكَ خِفَافًا لَمْ يَثْقُلْنَ وَلَمْ يَغْشَهُنَّ اللَّحْمُ ، وَإِنَّمَا يَأْكُلْنَ الْعُلْقَةَ مِنَ الطَّعَامِ ، فَلَمْ يَسْتَنْكِرِ الْقَوْمُ حِينَ رَفَعُوهُ ثِقَلَ الْهَوْدَجِ فَاحْتَمَلُوهُ وَكُنْتُ جَارِيَةً حَدِيثَةَ السِّنِّ ، فَبَعَثُوا الْجَمَلَ وَسَارُوا ، فَوَجَدْتُ عِقْدِى بَعْدَ مَا اسْتَمَرَّ الْجَيْشُ ، فَجِئْتُ مَنْزِلَهُمْ وَلَيْسَ فِيهِ أَحَدٌ ، فَأَمَمْتُ مَنْزِلِى الَّذِى كُنْتُ بِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ سَيَفْقِدُونِى فَيَرْجِعُونَ إِلَىَّ ، فَبَيْنَا أَنَا جَالِسَةٌ غَلَبَتْنِى عَيْنَاىَ فَنِمْتُ ، وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِىُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِىُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ ، فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِى فَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ فَأَتَانِى ، وَكَانَ يَرَانِى قَبْلَ الْحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ ، فَوَطِئَ يَدَهَا فَرَكِبْتُهَا فَانْطَلَقَ يَقُودُ بِى الرَّاحِلَةَ ، حَتَّى أَتَيْنَا الْجَيْشَ بَعْدَ مَا نَزَلُوا مُعَرِّسِينَ فِى نَحْرِ الظَّهِيرَةِ ، فَهَلَكَ مَنْ هَلَكَ ، وَكَانَ الَّذِى تَوَلَّى الإِفْكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَىٍّ ابْنُ سَلُولَ ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَاشْتَكَيْتُ بِهَا شَهْرًا ، يُفِيضُونَ مِنْ قَوْلِ أَصْحَابِ الإِفْكِ ، وَيَرِيبُنِى فِى وَجَعِى أَنِّى لاَ أَرَى مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - اللُّطْفَ الَّذِى كُنْتُ أَرَى مِنْهُ حِينَ أَمْرَضُ ، إِنَّمَا يَدْخُلُ فَيُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُولُ « كَيْفَ تِيكُمْ » . لاَ أَشْعُرُ بِشَىْءٍ مِنْ ذَلِكَ حَتَّى نَقَهْتُ ، فَخَرَجْتُ أَنَا وَأُمُّ مِسْطَحٍ قِبَلَ الْمَنَاصِعِ مُتَبَرَّزُنَا ، لاَ نَخْرُجُ إِلاَّ لَيْلاً إِلَى لَيْلٍ ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ نَتَّخِذَ الْكُنُفَ قَرِيبًا مِنْ بُيُوتِنَا ، وَأَمْرُنَا أَمْرُ الْعَرَبِ الأُوَلِ فِى الْبَرِّيَّةِ أَوْ فِى التَّنَزُّهِ ، فَأَقْبَلْتُ أَنَا وَأُمُّ مِسْطَحٍ بِنْتُ أَبِى رُهْمٍ نَمْشِى ، فَعَثُرَتْ فِى مِرْطِهَا فَقَالَتْ تَعِسَ مِسْطَحٌ ، فَقُلْتُ لَهَا بِئْسَ مَا قُلْتِ ، أَتَسُبِّينَ رَجُلاً شَهِدَ بَدْرًا فَقَالَتْ يَا هَنْتَاهْ أَلَمْ تَسْمَعِى مَا قَالُوا فَأَخْبَرَتْنِى بِقَوْلِ أَهْلِ الإِفْكِ ، فَازْدَدْتُ مَرَضًا إِلَى مَرَضِى ، فَلَمَّا رَجَعْتُ إِلَى بَيْتِى دَخَلَ عَلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَسَلَّمَ فَقَالَ « كَيْفَ تِيكُمْ » . فَقُلْتُ ائْذَنْ لِى إِلَى أَبَوَىَّ . قَالَتْ وَأَنَا حِينَئِذٍ أُرِيدُ أَنْ أَسْتَيْقِنَ الْخَبَرَ مِنْ قِبَلِهِمَا ، فَأَذِنَ لِى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَأَتَيْتُ أَبَوَىَّ فَقُلْتُ لأُمِّى مَا يَتَحَدَّثُ بِهِ النَّاسُ فَقَالَتْ يَا بُنَيَّةُ هَوِّنِى عَلَى نَفْسِكِ الشَّأْنَ ، فَوَاللَّهِ لَقَلَّمَا كَانَتِ امْرَأَةٌ قَطُّ وَضِيئَةٌ عِنْدَ رَجُلٍ يُحِبُّهَا وَلَهَا ضَرَائِرُ إِلاَّ أَكْثَرْنَ عَلَيْهَا . فَقُلْتُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَلَقَدْ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ بِهَذَا قَالَتْ فَبِتُّ تِلْكَ اللَّيْلَةَ حَتَّى أَصْبَحْتُ لاَ يَرْقَأُ لِى دَمْعٌ وَلاَ أَكْتَحِلُ بِنَوْمٍ ، ثُمَّ أَصْبَحْتُ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ وَأُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ حِينَ اسْتَلْبَثَ الْوَحْىُ ، يَسْتَشِيرُهُمَا فِى فِرَاقِ أَهْلِهِ ، فَأَمَّا أُسَامَةُ فَأَشَارَ عَلَيْهِ بِالَّذِى يَعْلَمُ فِى نَفْسِهِ مِنَ الْوُدِّ لَهُمْ ، فَقَالَ أُسَامَةُ أَهْلُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ نَعْلَمُ وَاللَّهِ إِلاَّ خَيْرًا ، وَأَمَّا عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ يُضَيِّقِ اللَّهُ عَلَيْكَ وَالنِّسَاءُ سِوَاهَا كَثِيرٌ ، وَسَلِ الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ . فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَرِيرَةَ فَقَالَ « يَا بَرِيرَةُ هَلْ رَأَيْتِ فِيهَا شَيْئًا يَرِيبُكِ » . فَقَالَتْ بَرِيرَةُ لاَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ ، إِنْ رَأَيْتُ مِنْهَا أَمْرًا أَغْمِصُهُ عَلَيْهَا أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ تَنَامُ عَنِ الْعَجِينَ فَتَأْتِى الدَّاجِنُ فَتَأْكُلُهُ . فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ يَوْمِهِ ، فَاسْتَعْذَرَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَىٍّ ابْنِ سَلُولَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مَنْ يَعْذِرُنِى مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِى أَذَاهُ فِى أَهْلِى ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِى إِلاَّ خَيْرًا ، وَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلاً مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا ، وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِى إِلاَّ مَعِى » . فَقَامَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا وَاللَّهِ أَعْذِرُكَ مِنْهُ ، إِنْ كَانَ مِنَ الأَوْسِ ضَرَبْنَا عُنُقَهُ ، وَإِنْ كَانَ مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا فِيهِ أَمْرَكَ . فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ ، وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ رَجُلاً صَالِحًا وَلَكِنِ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ ، لاَ تَقْتُلُهُ وَلاَ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ ، فَقَامَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ ، وَاللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ ، فَإِنَّكَ مُنَافِقٌ تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ . فَثَارَ الْحَيَّانِ الأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ حَتَّى هَمُّوا ، وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى الْمِنْبَرِ فَنَزَلَ فَخَفَّضَهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ ، وَبَكَيْتُ يَوْمِى لاَ يَرْقَأُ لِى دَمْعٌ وَلاَ أَكْتَحِلُ بِنَوْمٍ ، فَأَصْبَحَ عِنْدِى أَبَوَاىَ ، قَدْ بَكَيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَيَوْمًا حَتَّى أَظُنُّ أَنَّ الْبُكَاءَ فَالِقٌ كَبِدِى - قَالَتْ - فَبَيْنَا هُمَا جَالِسَانِ عِنْدِى وَأَنَا أَبْكِى إِذِ اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَأَذِنْتُ لَهَا ، فَجَلَسَتْ تَبْكِى مَعِى ، فَبَيْنَا نَحْنُ كَذَلِكَ إِذْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَجَلَسَ ، وَلَمْ يَجْلِسْ عِنْدِى مِنْ يَوْمِ قِيلَ فِىَّ مَا قِيلَ قَبْلَهَا ، وَقَدْ مَكُثَ شَهْرًا لاَ يُوحَى إِلَيْهِ فِى شَأْنِى شَىْءٌ - قَالَتْ - فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِى عَنْكِ كَذَا وَكَذَا ، فَإِنْ كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ ، وَإِنْ كُنْتِ أَلْمَمْتِ فَاسْتَغْفِرِى اللَّهَ وَتُوبِى إِلَيْهِ ، فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ » . فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَقَالَتَهُ قَلَصَ دَمْعِى حَتَّى مَا أُحِسُّ مِنْهُ قَطْرَةً وَقُلْتُ لأَبِى أَجِبْ عَنِّى رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . قَالَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِى مَا أَقُولُ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . فَقُلْتُ لأُمِّى أَجِيبِى عَنِّى رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِيمَا قَالَ . قَالَتْ وَاللَّهِ مَا أَدْرِى مَا أَقُولُ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . قَالَتْ وَأَنَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ لاَ أَقْرَأُ كَثِيرًا مِنَ الْقُرْآنِ فَقُلْتُ إِنِّى وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ سَمِعْتُمْ مَا يَتَحَدَّثُ بِهِ النَّاسُ ، وَوَقَرَ فِى أَنْفُسِكُمْ وَصَدَّقْتُمْ بِهِ ، وَلَئِنْ قُلْتُ لَكُمْ إِنِّى بَرِيئَةٌ . وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّى لَبَرِيئَةٌ لاَ تُصَدِّقُونِى بِذَلِكَ ، وَلَئِنِ اعْتَرَفْتُ لَكُمْ بِأَمْرٍ ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَنِّى بَرِيئَةٌ لَتُصَدِّقُنِّى وَاللَّهِ مَا أَجِدُ لِى وَلَكُمْ مَثَلاً إِلاَّ أَبَا يُوسُفَ إِذْ قَالَ ( فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ ) ثُمَّ تَحَوَّلْتُ عَلَى فِرَاشِى ، وَأَنَا أَرْجُو أَنْ يُبَرِّئَنِى اللَّهُ ، وَلَكِنْ وَاللَّهِ مَا ظَنَنْتُ أَنْ يُنْزِلَ فِى شَأْنِى وَحْيًا ، وَلأَنَا أَحْقَرُ فِى نَفْسِى مِنْ أَنْ يُتَكَلَّمَ بِالْقُرْآنِ فِى أَمْرِى ، وَلَكِنِّى كُنْتُ أَرْجُو أَنْ يَرَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى النَّوْمِ رُؤْيَا يُبَرِّئُنِى اللَّهُ ، فَوَاللَّهِ مَا رَامَ مَجْلِسَهُ وَلاَ خَرَجَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ حَتَّى أُنْزِلَ عَلَيْهِ ، فَأَخَذَهُ مَا كَانَ يَأْخُذُهُ مِنَ الْبُرَحَاءِ ، حَتَّى إِنَّهُ لَيَتَحَدَّرُ مِنْهُ مِثْلُ الْجُمَانِ مِنَ الْعَرَقِ فِى يَوْمٍ شَاتٍ ، فَلَمَّا سُرِّىَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ يَضْحَكُ ، فَكَانَ أَوَّلَ كَلِمَةٍ تَكَلَّمَ بِهَا أَنْ قَالَ لِى « يَا عَائِشَةُ ، احْمَدِى اللَّهَ فَقَدْ بَرَّأَكِ اللَّهُ » . فَقَالَتْ لِى أُمِّى قُومِى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . فَقُلْتُ لاَ وَاللَّهِ ، لاَ أَقُومُ إِلَيْهِ ، وَلاَ أَحْمَدُ إِلاَّ اللَّهَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ) الآيَاتِ ، فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذَا فِى بَرَاءَتِى قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ - رضى الله عنه - وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحِ بْنِ أُثَاثَةَ لِقَرَابَتِهِ مِنْهُ وَاللَّهِ لاَ أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ مَا قَالَ لِعَائِشَةَ . فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ ) إِلَى قَوْلِهِ ( غَفُورٌ رَحِيمٌ ) فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ بَلَى ، وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِى ، فَرَجَعَ إِلَى مِسْطَحٍ الَّذِى كَانَ يُجْرِى عَلَيْهِ . وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسْأَلُ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ عَنْ أَمْرِى ، فَقَالَ « يَا زَيْنَبُ ، مَا عَلِمْتِ مَا رَأَيْتِ » . فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَحْمِى سَمْعِى وَبَصَرِى ، وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَيْهَا إِلاَّ خَيْرًا ، قَالَتْ وَهْىَ الَّتِى كَانَتْ تُسَامِينِى ، فَعَصَمَهَا اللَّهُ بِالْوَرَعِ –

Mereka meyakini bahwa ‘Aisyah pernah berkata “Konon apabila Rasulallah saw menghendaki keluar untuk musafir, mengundi istri-istrinya. Mana di  antara mereka yang keluar undiannya berarti berhak keluar menemaninya. Beliau pernah mengundiku pada suatu peperangan yang dia lakukan. Ternyata yang muncul undianku. Saya pun keluar untuk menemaninya, saat itu ayat Hijab telah diturunkan. Saya dibawa di dalam tandu, kalau saya turunpun diturunkan bersama tandunya. Perjalanan tersebut memakan waktu lumayan lama.

Ketika Rasulullah saw telah menyelesaikan perang dan telah pulang: saat itu kami istirahat di dekat Madinah; di suatu malam Rasulullah saw mengumumkan bahwa perjalanan pulang akan dilanjutkan. Ketika orang-orang bersiap-siap akan pulang; saya berdiri untuk melewati kumpulan-pasukan. Ketika saya telah menyelesaikan keperluanku, saya segera mendatangi kendaraanku. Ketika saya meraba dadaku ternyata kalungku made in Jaz’i-Adzfar telah putus. Saya kembali lagi untuk mencari kalungku, pencarian tersebut membuatku tertahan lumayan lama. Orang-orang yang bertugas membawaku berdatangan untuk menaikkan tanduku. Mereka telah menaikkannya di atas unta yang tadinya kukendarai.

Mereka menyangka saya telah berada di dalamnya. Memang konon wanita saat itu ringan, tidak memberatkan orang yang membawa, bisa dikatakan tidak ada daging yang membungkus mereka karena yang mereka  makan benar-benar hanya sesuap makanan. Otomatis ketika mereka mengangkat tandu ringan tersebut tidak ada yang pangling.

Konon saat itu saya masih anak muda. Akhirnya petugas-petugas tersebut membangkitkan unta kendaraanku dan berangkat. Saya berhasil menemukan kalungku justru setelah pasukan berangkat. Saya telah bergerak cepat menuju tempat mereka, namun tak seorang pun kujumpai di sana. Saya segera datang ke tempatku semula karena menduga mereka akan kehilangan diriku selanjutnya akan kembali padaku. Di waktu saya lama menunggu ternyata saya tertidur.

Konon saat itu Shafwan bin Al-Mu’atthal As-Sulami berada di belakang pasukan. Di pagi buta dia berada di sisi tempatku, setelah dia melihatku sebagai hitamnya orang tidur dia mendatangiku. Memang sebelum Ayat Hijab diturunkan dia pernah melihatku. Saya sendiri terbangun karena istirja’nya di saat dia mendekamkan untanya. Dia menginjak tangan untanya; saya segera menaiki untanya; selanjutnya dia menuntun untanya yang akhirnya membawaku. Akhirnya kami bisa bergabung lagi pada pasukan di saat mereka beristirahat di pertengahan waktu dhohor.

Waktu itulah rusaknya orang yang telah rusak, (yakni mulai menyebarkan fitnah). Orang yang menangani Ifki (kebohongan atau fitnah) tersebut Abdullah bin Ubai bin Salul. Setelah saya sampai Madinah jatuh sakit selama sebulan. Selama itu orang-orang tengelam dalam berita Ifki atau fitnah tersebut. Yang membuatku ragu atau pangling ialah sewaktu saya sakit tak kurasakan lagi kelembutan dari Nabi yang sebelumnya pernah kurasakan. Sungguh yang dia lakukan hanya masuk rumah lalu bersabda ‘bagaimana dia?’. Keraguan tersebut mengganguku cukup lama hingga akhirnya saya hampir sembuh. Saat itu saya keluar-rumah beserta Ummu Misthach menuju kebun sebagai tempat buang air-besar-dan-kecil.

Mengenai hal itu kami masih melakukan kelakuan orang Arab kuno. Saya dan Ummu Misthach berjalan menuju tempat, tiba-tiba kaki dia terjerat ikat pinggangnya. Dia mengumpat ‘rugi Misthach’. Saya mengingatkan ‘ini sejelek-jeleknya yang kau ucapkan. Kenapa kau berani mengumpat lelaki veteran Perang Badar?’. Dia berkata ‘oh hantah’, dalam bahasa jawa nduk atau nak atau ngger. ‘Apa kau belum mendengar yang telah mereka katakan?’. Akhirnya dia menjelaskan padaku tentang ucapan ahlul-ifki atau tukang fitnah tersebut.

Sontak sakitku makin bertambah, ketika saya telah masuk ke rumah; Rasulullah saw masuk untuk mengucapkan salam lalu bertanya ‘bagaimana dia?’. Saya berkata ‘ijinkan saya pulang ke rumah dua orang tuaku’. Sebetulnya saat itu saya hanya akan minta penjelasan yang akurat dari mereka berdua. Beruntung sekali Rasulullah saw memberiku ijin. Setelah saya sampai kerumah dua orang tuaku saya bertanya pada ibuku ‘apakah yang dibicarakan oleh orang-orang?’. Dia menjawab ‘hai anakku sayang, anggaplah remeh urusan yang berhubungan dengan dirimu tersebut!. Demi Allah jarang sekali wanita cantik disanding pria yang mencintainya, kecuali pasti saingan-saingannya berulah banyak padanya’.

Saya berkata ‘Subhanallah, ternyata selama ini orang-orang membicarakan mengenai hal ini dengan serius’. ‘A’isyah meneruskan ceritanya ‘malam itu air-mataku bercucuran tak berhenti: menangis terus hingga pagi, tak sempat lagi mengenakan celak untuk tidur. Selanjutnya saya memasuki waktu pagi; saat Rasulullah saw terlambat mendapatkan wahyu, memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk minta masukan mengenai mencerai atau tidaknya pada istrinya.
  • Adapun Usamah menyatakan bahwa dirinya salut terhadap istri Nabi.’ Dia berkata ‘ya Rasulallah, setahuku demi Allah istri tuan tiada lain kecuali baik’.
  • Adapun Ali bin Abi Thalib berkata ‘ya Rasulallah, Allah mutlak takkan menyia-nyiakan tuan, perempuan selain dia banyak. Bertanyalah pada jariyyah’, yakni pelayan ‘A’isyah. ‘Dia akan menjawab dengan jujur’ kata Ali.

Akhirnya Rasulallah saw memanggil Barirah yang disebut jariyyah oleh Ali. ‘Ya Barirah apakah kau pernah menyaksikan sesuatu yang membuatmu ragu-ragu terhadapnya?’. Dia menjawab dengan tegas ‘tidak, demi yang telah mengutus tuan dengan hak, saya belum pernah menyaksikan perkara yang lebih kuanggap serus mengenai dia dari pada dia yang sungguh masih muda, pernah meninggalkan adonan rotinya, akhirnya adonannya didatangi dan dimakan kambing jinak’.

Pada sebagian waktu dari hari itu Rasulullah saw berdiri untuk minta masukan mengenai Abdullah bin Ubai bin Salul. Dia bersabda ‘siapakah yang memberiku masukan mengenai lelaki yang fitnahnya mengenai istriku akhirnya sampai padaku?. Demi Allah setahuku istriku adalah baik. Mereka juga memfitnah lelaki yang setahuku baik. Dia belum pernah masuk rumah istriku kecuali bersamaku’.

Tak lama kemudian Sa’d bin Mu’adz berdiri untuk berkata ‘ya Rasulallah, demi Allah saya memihak tuan mengenai dia. Kalau dia berasal dari keluarga Aus kami pasti telah memukul lehernya; kalaupun dia berasal dari saudara keluarga kami yaitu Khazraj, lalu tuan perintah kami, pasti kami juga melaksanakannya’.

Sontak Sa’d bin Ubadah berdiri, dialah Sayyid, yakni tokoh terbesar keluarga Khazraj. Yang sudah-sudah sebelum itu dia lelaki shalih, tetapi saat itu dia terbawa emosi, sehingga yang muncul ‘kamu telah bohong demi umur Allah!, kamu takkan membunuh dan takkan mampu membunuhnya!’.

Usaid bin Chudhair berkata ’demi Allah kami benar-benar akan membunuh orang itu. Kau orang munafiq yang membela orang-orang munafiq’. Ternyata perdebatan tersebut berdampak dua keluarga besar bersitegang hingga mereka sama berdiri. Rasulullah yang berdiri di atas mimbar pun turun untuk melerai mereka hingga mereka dan Nabi diam.

‘Sehari saya menangis terus hingga air mataku tumpah tak berhenti, tak sempat lagi mengenakan celak untuk tidur. Pagi itu dua orang tuaku berada di sisiku, tangisanku telah sehari dua malam belum juga berhenti, hingga saya menyangka akan memecahkan hatiku. Di saat mereka berdua duduk di sisiku; seorang wanita Anshar minta ijin akan masuk ke rumah. Saya memberi ijin agar dia masuk. Dia duduk dan menangis bersamaku.

Di saat keadaan kami demikian itu; tiba-tiba Rasulullah saw masuk kerumah untuk duduk. Sejak fitnah itu hangat dibicarakan, Rasulullah belum pernah duduk di sisiku. Padahal selama sebulan tak sedikitpun wahyu mengenai diriku turun. Tak lama setelah Rasulullah saw membaca tasyahud lalu bersabda ‘ya ‘A’isyah sungguh berita tentang begini-begini mengenai dirimu telah sampai padaku, jika ternyata kau tak melakukannya maka Allah akan membebaskanmu; namun jika kau telah melakukan maka istighfar dan bertaubatlah pada Allah, karena sungguh ketika seorang hamba telah mengakui dosa lalu bertaubat, maka Allah pun menerima taubatnya. Ketika Rasulullah saw telah menyelesaikan sabdanya; air mataku berhenti mengalir, kurasakan tak setetespun air-mataku keluar lagi.

Saya berkata pada ayahku ‘jawabkan saya pada Rasulallah’. Dia berkata ‘demi Allah saya tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Rasullah’. Saya berkata pada ibuku ‘jawablah untukku pada Rasulallah mengeni yang disabdakan’. Ibuku menjawab ‘demi Allah saya tak tahu apa yang kujawabkan untuk Rasulallah’. Saat itu saya masih bocah yang berumur muda, bacan Al-Qur’an yang kukuasai (maksudnya yang dihafalkan) belum banyak.

Saya berkata ‘demi Allah sungguh saya benar-benar telah tahu bahwa kalian telah mendengar berita yang disebar-luaskan orang-orang. Berita tersebut telah bersemayam di dalam hati kalian; kalian juga telah membenarkannya. Niscaya jika saya mengatakan pada kalian bahwa sungguh saya tak melakukannya; sementara Allah sendiri tahu bahwa memang saya tak melakukannya; pasti kalian tak mempercayaiku.

Namun kalau saya mengakui perbuatan yang sungguh Allah sendiri tahu bahwa saya tidak melakuknnya, pasti kalian justru mempercayaiku. Demi Allah saya tidak menemukan gambaran tentang diriku dan diri kalian kecuali bagaikan ayah Nabi Yusuf ketika berkata ‘فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ – Maka bersabar yang sangat baik; sementara Allah yang dimintai tolong tentang yang kalian jelaskan’.

Lalu saya bergeser ke tempat tidurku dengan berharap Allah membebaskanku dari tuduhan tersebut. Tetapi demi Allah saat itu saya tidak menyangka sama-sekali bahwa Allah akan menurunkan pernyataan terbebasku dari tuduhan tersebut di dalam wahyu, maksudnya “Al-Qur’an.” Niscaya menurutku jika urusan saya tersebut diperbincangkan di dalam Al-Qur’an terlalu remeh.

Sungguh yang telah kuharap hanya sekedar Allah menyatakan saya terbebas dari tuduhan tersebut melalui mimpi Rasulillah saw di dalam tidur. Demi Allah Rasulullah belum bergeser dari tempat duduknya; yang di dalam ruangan juga belum ada yang keluar. Akhirnya Allah Ta’ala menurunkan firman ‘إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ – Sesungguhnya orang-orang yang telah mendatangkan kebohongan adalah golongan dari kalian’ dan seterusnya hingga beberapa ayat.

Ketika Allah telah menurunkan ini firman untuk menyatakan saya bebas dari tuduhan tersebut; Abu Bakr ra yang tadinya telah memberi nafqah Misthach bin Usasah karena kerabatnya, berkata ‘demi Allah, selamanya saya takkan memberi nafqah pada Misthach sedikitpun, setelah dia mengucapkan tuduhan jelek pada ‘A’isyah’. Tak lama kemudin Allah menurunkan firman

 ‘وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ –
Dan orang-orang yang memiliki kefadolan dan keluasan jangan berilak (maksudnya merenggangkan persaudaraan): takkan memberi pada para pemilik kerabat dan orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di Jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berbuat baik. Bukankah kalian akan senang jika Allah mengampuni pada kalian?. Dan Allah Maha pengampun Maha penyayang’.

Sontak Abu Bakr menjawab ‘iya demi Allah saya senang jika Allah mengampuni padaku’. Akhirnya Abu Bakr kembali memberi nafqah Misthach. Konon Rasulullah saw bertanya pada Zainab binti Jachsy mengenai diriku ‘ya Zainab menurutmu bagaimana berdasarkan penyaksianmu?’. Dia menjawab ‘ya Rasulalah, saya menjaga pendengaran dan penglihatanku, demi Allah yang kuketahui dia baik’. Dan dialah istri Nabi yang membandingiku. Allah melindungi dia karena dia wira’i.
Kalau kita baca Al-Qur’an yang membahas peristiwa tersebut, betapa menakjubkan:

 إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11) لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12) لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (13) وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (14) إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17) وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (18) إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (19) وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (20) – Sesungguhnya orang-orang yang telah mendatangkan kebohongan adalah golongan dari kalian sendiri. Kalian jangan menyangka bahwa itu jelek buat kalian, bahkan itu baik buat kalian. Tiap seorang dari mereka mendapat dosa sekadar yang dikerjakan. Dan orang dari mereka yang mengatur besarnya kebohongan tersebut mendapat siksa yang dahsyat. (11) Hendaklah ketika kalian mendengarnya; orang-orang iman laki-laki dan perempuan menyangka baik pada diri mereka dan berkata ‘ini kebohongan nyata’. Hendaklah mereka mendatangkan empat saksi atas kebohongan tersebut. Ketika mereka tidak mendatangkan empat saksi berarti mereka orang-orang bohong di sisi Allah. (12) Kalau tiada kefadolan dan rahmat Allah atas kalian di dunia dan akhirat niscaya siksa yang dahsyat telah menimpa kalian sebab yang telah kalian beritakan. (14) Ketika itu kalian memberitakannya dengn lisan kalian dan mengucapkan dengan mulut kalian mengeni yang kalian tak memiliki ilmunya, dan kalian menyangkanya remeh; padahal dia di sisi Allah sangat besar. (15) Hendaklah ketika kalian mendengarkannya berkata ‘kita tidak pantas membicarakan ini, Maha Suci Engkau, ini kebohongan yang sangat besar’. (16) Allah nasehat pada kalian agar kalian tak mengulangi semisal itu selamanya, jika kalian orang-orang iman. (17) Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya pada kalian, sementara Allah Maha Alim Maha Hakim. (18) Sesungguhnya orang-orang yang senang jika berita jelek tersebar di kalangan orang-orang iman, mendapat siksa yang sangat pedih di dunia dan akhirat. Allah tahu; sementara kalian tidak tahu. (19) Kalau tiada:
  • kefadoln dan rahmat Allah atas kalian,
  • dan sungguh Allah Maha pengasih Maha penyayang. (20) [Maksudnya ‘niscaya siksa yang dahsyat telah menimpa kalian sebab yang telah kalian beritakan’].
Adapun hikmah pelajaran dalam kisah tersebut ialah, jika ada orang memberitakan fitnah atau menggunjing:
  1. Bertasbihlah.
  2. Katakan ‘bohong’ kalau tak ada saksi atau buktinya.
  3. Meskipun telah disakiti perasannya namun jangan menghalang-halangi bersodaqah padanya.
  4. Orang menyangka memfitnah adalah dosa remeh; padahal di sisi Allah sangat besar.
  5. Setelah susah ada bahagia.
  6. Istirjaklah jika menyaksikan atau mendapat mushibah.
  7. Allah berkeinginan fitnah yang menimpa ‘A’isyah takkan terulang lagi untuk selamanya.
  8. Jika bukan karena kefadolan dan rahmat Allah untuk orang-orang iman, niscaya orang-orang di dunia yang suka memfitnah telah diadzab dengan adzab yang dahsyat. Maka memohonlah rahmat dan kefadolan pada Allah dan istighfarlah.
Post from keating354@yahoo.com