Dalil
ini mengulik lagi kesadaran saya: sudahkah saya melakukannya? Itu
pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban segera. Apalagi sudah dikepung 4 orang anak yang lucu di sekitar saya.
Diriwayatkan dari Abu An-Nashr dan Dailami, “Ajarilah
anak-anak kalian atas tiga perkara, (1) cinta Nabi kalian, (2) cinta
kepada keluarganya Nabi, dan (3) membaca alquran, maka sesungguhnya
pembawa Alquran itu di dalam naungannya Allah pada hari tidak ada
naungan kecuali naungan-Nya beserta para Nabi dan keluarga Nabi.”
Seolah belum reda dengan kegalauan ini, Imam al-Bukhary meriwayatkan dalil serupa yang menguatkan apa yang Abu An-Nashr riwayatkan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
sempurna iman salah seorang kalian sehinggalah aku (Nabi SAW) menjadi
orang yang paling dia cintai melebihi hartanya, keluarganya, dan seluruh
manusia yang lainnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab al-Iman, 1/24, no. 14). Menggununglah jadinya.
Menurut
hadist di atas sebagai orang tua saya merasa “kenekan”, sebab belum
mengajarkan secara paripurna masalah cinta kepada Nabi dan keluarganya
ini. Baik langsung maupun tidak langsung. Atau merujuk
dalil kedua, bagaimana mau mengajarkan cinta itu kalau diri sendiri
belum bisa mencintai Nabi melebihi harta, keluarga dan seluruh manusia.
Nah, disitulah pokok masalah sebenarnya. Dan bagaimana bentuk cinta itu,
kadang masih absurd buat kebanyakan orang. Oleh karena itu, saya
merasa perlu menggali informasi lagi bagaimana cara mencintai Nabi dan
keluarganya, untuk kemudian bisa mengajarkannya. Tentunya dimulai dari
diri ini
sendiri.
Salah satu dalil yang sering beredar menjembatani pemahaman ini adalah begini,” Man ahya sunnatii faqod ahabbanii, waman ahabbani kaana ma’ii fil jannah - Barangsiapa yang menghidup-hidupkan sunnahku, sungguh dia cinta kepadaku. Dan barangsiapa yang mencintai aku maka dia akan bersamaku di surga.” Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, juga Suyuthi
dalam Jami'ush Shaghir, dan dikeluarkan pula oleh Muhammad Abdullah al
Khathib al Tabrazi dalam Misykatul Mashabih. Tirmidzi berkata: Hadits
hasan gharib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingatkan,“Sebaik-baik
perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan (dalam urusan agama), setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (Hadis riwayat Muslim, 4/359, no. 1435)
“Katakanlah
(wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu.”
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali Imran, 3: 31)
Bersandar
pada dalil-dalil di atas, setidaknya menjadi ”sedikit” jelas bagaimana
jalan lempang mencintai Nabi dan keluarganya. Masalahnya kita tidak lagi
hidup sejaman dengan Nabi SAW. Jadi konteks mencintai Nabi bukanlah
sembarang cinta layaknya. Ini bukan cinta biasa, seperti cinta sesama
manusia atau kepada lawan jenisnya. Bukan juga kasih orang tua kepada
anak. Suami kepada istri, atau kakak kepada adik atau saudara yang lain.
Lebih dari itu. Ini cinta di atas cinta.
Umar bin Khathab berkata kepada Nabi SAW; “Niscaya engkau wahai Rasulullah lebih aku cintai dari segala sesuatu selain diriku sendiri.” Nabi SAW bersabda; “Tidak demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai lebih dari dirimu sendiri.” Kemudian Umar bin Khathab berkata; “Sekarang ini, engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Maka Nabi SAW bersabda; “Sekarang (telah benar cara mencinataimu) wahai Umar.” (HR Bukhary)
“Katakanlah:
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri,
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-NYA”. dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Adalah
dengan mengamalkan sunnah-sunnahnya, mengikuti teladannya dan
meneruskan cita-citanya. Terlebih di saat manusia yang lain
meninggalkannya. Inilah esensi cinta itu.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu contoh tauladan yang baik bagimu
(iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Surah al-Ahzaab, 33: 21)
Pertama, mari
kita kenalkan kepada anak-anak kita nama Nabi kita SAW beserta
gelarnya. Juga nama istri-istrinya, anak-anaknya dan cucu-cucunya. Saya
berani bertaruh, banyak diantara kita yang belum kenal gelar Nabi SAW,
apalagi nama kesembilan istrinya. Pun kelima anaknya dengan Khadijah.
Jadi proses pengenalan ini saya anggap penting juga dalam rangka
mencintai Nabi SAW dan keluarganya. Bisa lewat cerita – tutur tinular,
dongeng pengantar tidur, tarikh islam atau cara lain yang inovatif.
Dengan tahu nama, dengan kenal nama, diharapkan mampu menumbuhkan sikap
ta’dhim terhadap Nabi SAW dan keluarganya. Irene Handono, mantan
biarawati yang membelot jadi islam, sering menceramahkan, ”Banyak
diantara kita umat islam yang kenal superman, batman, rambo, dora emon,
dll, tapi jarang yang mengidolakan bahkan tak kenal siapa itu Hasan,
Husen, Fathimah Az-Zahra, Khadijah, Ali dan sederet nama lain yang
termasuk keluarga Nabi. Ironis, sungguh ironis.
Nabi mempunyai nama Ahmad atau Muhammad dengan 5 julukan baginya, selain Al-Amin yang beliau sandang sebelum menjadi Nabi.
Dari Mut'im r.a. katanya : Rasulullah
Saw bersabda : 'Sesungguhnya aku mempunyai beberapa nama: Aku Muhammad
(yang amat dipuji), Aku Ahmad (yang banyak memuji), Aku yang penghapus
karena aku Allah menghapuskan kekafiran, Aku pengumpul yang dikumpulkan
manusia dibawah kekuasaanku dan aku pengiring yang tiada kemudianku
seorang nabipun.(HR. Muslim)
Dari Abu Musa Al Asy'ari r.a. katanya : 'Pernah
Rasulullah Saw menerangkan nama diri beliau kepada kami dengan menyebut
beberapa nama: Aku Muhammad, Aku Ahmad, Aku pengiring dan pengumpul,
Nabi (yang menyuruh) tobat dan Nabi (yang membawa) rahmat.' (HR. Muslim)
Adapun istri-istrinya, yang pertama adalah Khadijah binti Khuwailid. Selanjutnya sepeninggal Khadijah, Nabi memiliki 9 istri dan 2 budak sebagai berikut: 1. Saudah binti Zum'ah; 2.
Aisyah binti
Abu Bakar; 3. Hafsah binti Umar bin Al-Khattab; 4. Zainab binti
Jahsyin; 5. Zainab binti Khuzaimah; 6. Ummu Salamah (Hindun binti Abi
Umaiyah); 7. Ummu Habibah (Ramlah binti Abi Sufian); 8. Maimunah binti
Al-Harith; 9. Shofiah binti Huyayyin. Adapun budak perempuannya adalah;
1. Juwairiyah dan 2. Mariyah Al-Qibtiyah .
Adapun
anak-anak Nabi (kesemuanya dari Khodijah) adalah sebagai berikut:
Al-Qasim; Abdullah, Zainab, Ruqaiyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
Sedangkan Ibrahim dari Mariyah Al-Qibtiyah.
Yang tak kalah penting adalah membacakan sholawat atas Nabi SAW dan keluarganya. Hal
ini banyak disinggung dalam hadist dan merupakan bentuk konkret ujud
cinta yang sebenarnya. Sholawat ini merupakan bentuk cinta yang tidak
kenal masa dan usia. Siapa saja dan kapan saja bisa melakukannya untuk
memanifestasikan rasa cinta dan senang kepada Nabi SAW beserta
keluarganya. Bahkan sebutan bakhil pun disematkan bagi mereka yang tidak
mau membaca sholawat Nabi. Sunan
Tirmidzi meriwayatkan:... dari Ali bin Abi Tholib, berkata dia,
bersabda Rasulullah SAW, ”Orang yang bakhil adalah orang yang ketika disebut aku di sisinya maka tidak mau membaca sholawat dia atasku.”
Nabi SAW bersabda,“ Barangsiapa di antara kamu yang paling banyak bershalawat kepadaku, maka dialah yang paling dekat kedudukannya denganku.” (Hadis Riwayat al-Baihaqi, Lihat: Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 2/137, no. 1672)
Nah,
setelah melewati dua tahap mudah tersebut baru kemudian menghidupkan
sunah-sunahnya secara keseluruhan dan bertanggung jawab – mastatho’tum.
SAPMB AJKH
salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar