Labels

Kamis, 02 Agustus 2012

Ramadhan

Menghitung salam

By Mbah Google
 
 
Awal ramadhan terlihat guyup itu biasa. Masjid – masjid jadi rame itu wajar. Surau – surau jadi gemerlap itu selayaknya. Mushalla – mushalla berhias benderang menantang. Ramadhan memang membawa perbedaan.
 
Shaf – shaf penuh itu perlu. Barisan – barisan tegak-lurus itu baku. Dan bacaan- bacaan imam yang nyaring – merdu, mengusir debu - debu dosa dan datangnya pahala berlipat - lipat. Ramadhan datang membawa pesan kedamain. Rahmat seluruh alam.
Hingga anak – anak pun riang menyambutnya. Mereka berkicau. Meramaikan suasana. Berteriak, berlari. Hilir mudik kesana – kemari. Ada juga yang berbaris rapi, tapi menyendiri dengan alam pikirannya. Maka ia pun tak peduli ketika selesai salam berbincang dengan rekan di sebelahnya.
 
“Kurang berapa lagi?”
“Lima,” kata teman sebelahnya yang lebih tua.
 
Kemudian imam berangkat, melaju rekaat demi rekaat. Tanpa peduli dengan dialog mereka. Demikian juga dengan yang lain. Namun, setiap kali mendapat 2 rekaat dan terdengar salam, pertanyaan serupa terulang dari mulut – mulut kecil itu. Seolah tak sabar. Dan hitungan mundur tentunya mewarnai jawaban itu. Mengharap kapan selesai untuk segera bermain atau menikmati acara selanjutnya. Maklum namanya juga anak – anak.
 
“Berapa lagi?”
 
“Empat.”
 
Entah angin dari mana, ide dari siapa, tiba – tiba jiwa dan pikiran saya tertarik dengan perbincangan anak-anak itu.  Aku cuma melirik dan mesem –mesem memperhatikannya. Namun seperti hembusan angin semilir kipas di masjid itu, tiba – tiba muncul kesadaran luar biasa dalam diri saya. Sebuah pencerahan. Maka, pikiran pun berlari menjemput dalil man qoma ramadhan imanan wahtisaban.
 
Dari Abu Huroiroh RA, dia berkata: bersabda Rosulullah SAW: “ Barangsiapa melakukan Qiyamu Romadhon dengan iman dan mencari pahala, maka diampuni dosanya yang telah lewat.” (Shohih Muttafaqun Alaih)
 
Saya mencoba mengungkapkan dengan kata – kata, tapi rasanya sulit sekali. Begitu padang cahaya pencerahan itu. Jembar sekali memenuhi hati. Luas, seakan menampung jamaah se masjid malam itu. Dalil itu begitu sempurna untuk merontokkan sikap arogan. Begitu indah untuk dijalankan. Diimani, diyakini dan dilaksanakan. Dan sikap anak – anak di atas tadi sebagai pemicunya. Bukankah kita yang dewasa juga melakukan hal yang sama? Menghitung rekaat demi rekaat setiap waktu? Malu? Ya, saya juga melakukan hal serupa. Bedanya, orang dewasa tidak mengungkapkannya. Hanya dilakukan di dalam hati. Jadi, dimana letak imanan wahtisaban sebagaimana tersebut dalam dalil di atas tadi?
 
Sudah lebih dari 35 kali saya menjumpai Ramadhan. Jatuh bangun berpuasa dan taraweh selayaknya. Namun baru kali ini merasakan hal yang beda. Yang mengusik jati keimanan. Mempertanyakan pucuk kesungguhan. Dimana secara jujur saya akui masih didominasi dengan menghitung rekaat dan salam ketika taraweh berjalan. Persis seperti anak – anak tadi.
 
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadiid 16)
 
Bukankah seharusnya shalat tarawih itu penuh kekhusyuan? Bukankah bercakap dan berbincang dengan Allah adalah hal yang menyenangkan? Bukankah keihsanan itu penuh keindahan? Apalagi jika harapannya adalah diampuna dosa – dosa yang telah lewat. Apakah yang saya lakukan seperti itu cukup? Subhanallah…
 
Saya pun mematung. Mengukur diri. Walau besar harapan untuk mencapai ampunan itu dengan imanan wahtisaban. Tetapi rasanya masih jauh. Khusyu belum, ihsan kurang, hati grambyang iya, pun suka menghitung – hitung salam. Diujung sana telah menunggu titah Tuhan bagi orang iman macam saya; Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Faathir:32)
 
Mudah-mudahan tidak termasuk di dalam golongan dholimu linafsih. Dan rasanya sekarang waktunya untuk berbenah. Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane. Merajut kekhusyu’an. Merenda keindahan. Menjalin kedamaian. Memantapkan ihsan. Membuang menghitung – hitung salam. Menuju fastabiqul khairat. Imanan wahtisaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar